MELALUI Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 34/PMK.04/2020, pemerintah telah memberikan berbagai fasilitas perpajakan atas impor barang yang diperlukan untuk penanganan pandemi virus Corona atau Covid-19.
Dalam beleid yang berlaku mulai 17 April 2020 itu, pemerintah memberikan tiga insentif. Pertama, pembebasan bea masuk dan/atau cukai. Kedua, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tidak dipungut. Ketiga, pembebasan PPh Pasal 22.
Hal ini berarti impor barang tertentu yang diperlukan untuk penanganan Covid-19 dibebaskan dari kewajiban untuk melunasi bea masuk dan/atau cukai serta dikecualikan dari kewajiban pelunasan pajak dalam rangka impor (PDRI).
Anda juga dapat menyimak kamus ‘Apa itu Bea Masuk dan Bagaimana Perhitungannya’.Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan pajak dalam rangka impor (PDRI)?
Pungutan DJBC
PAJAK Dalam Rangka Impor (PDRI) adalah pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang. PDRI menjadi salah satu pungutan yang dikenakan terhadap importir di luar bea masuk dan cukai.
PDRI hanya memiliki satu jenis tarif yaitu advalorum dan tidak ada tarif yang dikenakan secara spesifik. Hal ini berbeda dengan bea masuk yang sistem perhitungannya menggunakan dua skema tarif yaitu secara advalorum dan spesifik.
Lebih lanjut, besaran nilai PDRI yang terutang dihitung berdasarkan pada hasil perkalian tarif pajak dengan nilai impor. Hal ini berarti, dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan antara bea masuk dan PDRI berbeda.
Bea masuk dihitung dengan berdasarkan pada nilai pabean, sementara PDRI dihitung berdaskan nilai impor. Adapun yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai barang dalam International Commercial Terms (incoterm) Cost, Insurance, and Freight (CIF) ditambah dengan besaran bea masuk.
Dengan kata lain, nilai impor adalah nilai pabean ditambah besaran bea masuk yang harus dibayar. Secara lebih terperinci, PDRI terdiri dari beberapa jenis pajak yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal Pasal 22 Impor.
PPN dan PPnBM
PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas impor atau penyerahan barang dan jasa kena pajak. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tarif PPN atas impor barang kena pajak adalah sebesar 10% dan bersifat tetap.
Sementara itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau impor barang berwujud yang tergolong mewah. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 UU No.42 Tahun 2009, terdapat 4 kriteria barang yang diklasifikasikan sebagai barang mewah.
Pertama, barang bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Kedua, barang dikonsumsi masyarakat tertentu. Ketiga, pada umumnya barang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Keempat, barang dikonsumsi untuk menunjukkan status atau kelas sosial.
Berbeda dengan tarif PPN yang bersifat tetap, tarif PPnBM dikenakan secara bervariasi tergantung pada jenis barang yang diimpor. Sesuai dengan Pasal 8 UU 42 Tahun 2009 tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%.
PPh Pasal 22 Impor
MERUJUK pada Pasal 22 UU No.36/2008, PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, instansi atau lembaga pemerintah yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang.
Selain itu, PPh Pasal 22 juga dibebankan kepada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah (BUMN) ataupun pihak swasta, yang berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Hal ini berarti cakupan PPh Pasal 22 sangat luas dan salah satunya menyasar kegiatan impor sehingga dikenal dengan sebutan PPh Pasal 22 Impor. Pengaturan yang lebih terperinci atas PPh Pasal 22 Impor tertuang dalam PMK No.34/PMK.10/2017.
Berdasarkan Pasal 2 beleid tersebut, dapat diketahui tarif PPh Pasal 22 Impor bervariasi tergantung pada kelompok barang. Secara lebih terperinci, terdapat 6 tarif untuk PPh Pasal 22 Impor.
Pertama, untuk barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PMK No.34/PMK.10/2017 10% dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
Kedua, untuk barang tertentu lainnya seperti tercantum dalam Lampiran II PMK No.34/PMK.10/2017 7,5% dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan API.
Ketiga, untuk barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebagaimana tercantum dalam Lampiran III PMK No.34/PMK.10/2017 0,5% dari nilai impor dengan mengunakan API;
Keempat, untuk barang yang tidak tercantum dalam lampiran PMK No.34/PMK.10/2017 dan menggunakan API 2,5% dari nilai impor. Kelima, barang lain yang tidak menggunakan API 7,5% dari nilai impor. Keenam, barang yang tidak dikuasai 7,5% dari harga jual lelang.
Adapun yang dimaksud dengan barang yang tidak dikuasai adalah barang impor yang tidak bertuan/tidak diketahui siapa pemiliknya. Hal ini bisa disebabkan karena pemilik/importir tidak dapat menyelesaikan permasalahan dokumen atau sebab lain seperti diatur PMK No. 53/PMK.04/2008.
Sementara itu, yang dimaksud dengan API adalah nomor identitas importir yang diterbitkan Kementerian Perdagangan untuk importir yang memenuhi persyaratan tertentu. Ketentuan API sendiri tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.70/M-DAG/PER/9/2015.
Perhitungan PDRI
MISALNYA PT. A memiliki API dan mengimpor parfum dari Prancis dengan cost US$10.000, insurance US$50, dan freight US$100.
Berdasarkan pos tarif dan pembebananan menurut Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) besar tarif bea masuk atas parfum tersebut adalah 5% dan NDPBM yang berlaku adalah US$1 = Rp. 13.500. Selanjutnya parfum tersebut tercantum dalam Lampiran I PMK No.34/PMK.10/2017
Berdasarkan ilustrasi tersebut maka perhitungan besaran bea masuk dan PDRI yang harus dibayar PT.A adalah sebagai berikut:
Parfum tersebut tidak tergolong barang mewah sehingga tidak dikenakan PPnBM. Dengan demikian, total pungutan PDRI yang harus dibayar PT.A adalah senilai Rp28.775.250. Selain itu, PT. A juga harus membayar bea masuk senilai Rp6.851.250. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.