NEGARA mempunyai kewajiban menjaga kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Mandat itu membuat negara membutuhkan sumber pendanaan yang salah satunya dihimpun dari pajak.
Kewenangan memungut pajak telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, negara mempunyai kewenangan untuk menagih utang pajak yang tidak dilunasi oleh penanggung pajak baik secara persuasif maupun secara represif.
Selain itu, negara juga memiliki hak istimewa yang dikenal dengan hak preferensi atau hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak untuk pemenuhan utang pajak. Lantas, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan hak mendahulu?
Definisi
ISTILAH hak mendahulu sebetulnya serupa dengan preferential debt for tax yang dalam IBFD International Tax Glossary (2015) dijabarkan sebagai berikut:
“Karena pajak adalah utang kepada negara, dalam kondisi tertentu, undang-undang pajak atau aturan komersial biasanya menyatakan utang pajak lebih diutamakan dari utang lainnya. Misalnya dalam kasus kebangkrutan, likuidasi perusahaan, atau urusan administrasi bagi orang yang meninggal”
Di Indonesia dasar hukum hak mendahulu untuk utang pajak tercantum dalam Pasal 21 UU KUP, Pasal 26 PP No.80/2007, Pasal 19 UU No.19/2000, dan Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUH Perdata. Kendati tersebar dalam beberapa beleid, tidak ada pasal yang menjelaskan definisi hak mendahulu.
Namun, apabila merujuk padal Pasal 21 UU KUP maka dapat disimpulkan definisi dari hak mendahulu adalah hak khusus yang dimiliki negara terhadap barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum.
Hal ini berarti apabila penanggung pajak mempunyai tunggakan pajak, maka dengan hak mendahulu ini, negara mempunyai hak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum lebih dari kreditur lain.
Hak tersebut membuat pembayaran kepada kreditur lain baru bisa diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Adapun utang pajak tersebut meliputi pokok pajak serta sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak
Hak mendahulu juga berlaku apabila barang milik penanggung pajak tersebut telah dilakukan penyitaan. Dengan demikian, dalam hal terjadi lelang maka pihak yang melakukan pelelangan wajib mendahulukan hasil lelang tersebut untuk pelunasan utang pajak.
Bahkan hak mendahulu ini berlaku apabila wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, ataupun dilikuidasi. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 21 ayat (3a) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan:
“Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi, maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lain sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut”
Berdasarkan ketentuan ini maka kedudukan utang pajak merupakan sesuatu yang istimewa. Bahkan posisi istimewa tersebut dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP yang menyatakan ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen.
Kreditur Preferen
SECARA umum kreditur preferen merupakan kreditur yang didahulukan karena memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Kedudukan negara sebagai kreditur preferen membuatnya mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang dibandingkan kreditur lain.
Kendati melebihi segala hak mendahulu lainnya, hak mendahulu untuk utang pajak tidak berlaku terhadap tiga hal. Pertama, biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
Kedua, biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud. Ketiga, biaya perkara, yang hanya disebabkan pelelangan dan penyelesaian warisan. Hal ini berarti hasil penjualan/lelang harus digunakan untuk membayar biaya itu terlebih dahulu dan sisanya untuk melunasi utang pajak.
Namun, konteks negara sebagai kreditur preferen dalam pembagian harta sempat menjadi polemik. Pasalnya, Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan juga menyatakan upah dan hak lain pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan apabila perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi.
Terkait dengan hal tersebut dapat merujuk pada amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 yang mengharuskan pembayaran upah pekerja/buruh didahulukan dalam kasus kepailitan . Meski demikian, mahkamah menilai hak lain yang dimiliki pekerja tidak sama dengan upah.
Adanya putusan ini membuat kewajiban/ tagihan terhadap negara termasuk kedudukan utang pajak berada pada tingkat setelah upah. Namun, hak lain yang dimiliki pekerja berada di bawah peringkat kreditor separatis.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan majelis hakim yang memandang negara masih memiliki sumber penghasilan lain. Sementara itu, buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya.
Simpulan
HAK mendahulu adalah hak khusus yang dimiliki negara terhadap barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Hak ini membuat hasil penjualan/lelang atas barang-barang milik penanggung pajak harus digunakan untuk melunasi utang pajak terlebih dahulu. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.