Ilustrasi. KEK Kura-Kura Bali disebut-sebut akan menjadi salah satu tempat untuk pendirian family office. (foto: kek.go.id)
KEJAR tayang. Kurang dari 4 bulan jelang berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, muncul wacana terkait dengan family office. Gugus tugas (task force) pun langsung dibentuk dan dikomandoi secara langsung oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Gerak cepat dilakukan dengan meninjau berbagai regulasi untuk menciptakan ekosistem wealth management centre (WMC). Menyebut ada bantuan kajian World Bank, pemerintah siap melihat aspek ease of doing business, sistem keuangan, legal framework, dan aspek lain, termasuk pajak.
Perlu digarisbawahi, family office bukan merujuk pada perusahaan keluarga di sektor riil yang tak jarang memuat istilah ‘grup’. Family office merujuk pada pengelola kekayaan keluarga dan pengembang strategi investasi agar kekayaan bertahan lintas generasi.
Jadi, jangan membayangkan pembentukan family office akan diikuti dengan pembangunan kantor atau gedung-gedung tinggi, bahkan pabrik. Jangan membayangkan pula ada aktivitas yang ramai lalu-lalang para karyawan. Skemanya justru bisa lebih banyak kerja jarak jauh (remote working).
Dalam konteks ini, yang dibutuhkan dalam operasional family office bukanlah pekerja dalam jumlah banyak. Selain dalam jumlah yang terbatas, sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan justru skilled labour, terutama pada bidang investasi dan keuangan. Simak 'Apa Itu Family Office?'.
Artinya, family office tidak selalu berkorelasi dengan investasi sektor riil yang padat karya di negara tempat mereka berada. Keberadaan family office lebih banyak menyangkut sektor keuangan yang asetnya dapat berpindah cepat karena faktor-faktor tertentu.
Terlebih, berdasarkan pada Global Family Office Report 2024 yang dirilis UBS Evidence Lab, alokasi aset strategis family office dapat dipengaruhi perubahan inflasi, suku bunga, dan pertumbuhan ekonomi. Ketegangan geopolitik juga menjadi perhatian tersendiri dalam pengalokasian aset.
Tidak mengherankan jika mayoritas aset yang dikelola family office masuk kelompok tradisional, seperti ekuitas (equities), pendapatan tetap (fixed income), dan uang tunai (cash) atau yang setara. Porsinya sebanyak 58%.
Sisanya, yakni 42% berada di kelompok alternatif, seperti ekuitas swasta, real estat, dana lindung nilai, utang swasta, emas/logam mulia, seni dan barang antik, komoditas, dan infrastruktur. Jika diperinci, 2 terbesar adalah ekuitas swasta (22%) dan real estat (10%).
Data penempatan aset itu menunjukkan orang superkaya nyaman dengan instrumen likuid sehingga mudah dipindahkan kapan saja. Artinya, family office belum tentu menjamin adanya multiplier effect pada ekonomi riil, yang notabene masih sangat dibutuhkan negara seperti Indonesia.
Menariknya lagi, penempatan equities dan fixed income sebanyak 80% justru di negara maju. Dengan demikian, justifikasi moneter, misal nilai tukar dan pasar uang, juga masih belum kuat karena orang superkaya masih cenderung berhati-hati menempatkan aset di negara berkembang.
Kita lihat Singapura dan Hong Kong yang selalu muncul ketika pemerintah bicara tentang family office. Dalam The Wealth Report edisi ke-18 yang dirilis Knight Frank, Hong Kong dan Singapura disebut telah memimpin persaingan untuk menjadi ‘tuan rumah’ orang-orang kaya baru di Asia.
Singapura telah memanfaatkan insentif pajak dan peraturan yang ramah bisnis untuk mendorong 1.100 family office yang mengelola lebih dari US$4 triliun untuk pindah ke negara tersebut. Jumlah ini naik signifikan dari sekitar 100 family office pada kurang dari 1 dekade silam.
Hong Kong telah lama menjadi pusat kekayaan yang dominan. Serangkaian insentif ditujukan untuk family office dan tempat tinggal bagi orang-orang yang berinvestasi setidaknya HK$30 juta. Hong Kong dinilai akan selalu menjadi dominant hub kekayaan yang diciptakan di daratan China.
Kendati demikian, masih dalam laporan tersebut, ada tantangan mengenai sejauh mana struktur peraturan yang dibentuk mampu mendorong investasi riil dalam perekonomian lokal. Kaitannya dengan belanja langsung dan investasi masih belum jelas.
Monetary Authority of Singapore (MAS) belum lama ini telah mengubah insentif yang ditawarkan. Perubahan ditujukan untuk mendorong family office berinvestasi di pasar ekuitas negara tersebut serta di proyek lokal, termasuk yang berkaitan dengan perubahan iklim.
MAS juga menilai kehadiran family office juga berdampak kecil terhadap pasar properti residensial. Artinya, tantangan yang dihadapi adalah mendorong lembaga-lembaga swasta untuk membangun ‘akar yang lebih dalam’ sehingga ada investasi lebih luas.
Situasi tersebut seharusnya turut menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia. Dengan demikian, desain kebijakan untuk ‘merebut’ dana dari orang-orang superkaya, termasuk menyangkut family office, bisa disesuaikan dengan upaya memunculkan multiplier effect terhadap perekonomian.
Terlebih, rezim yang ditujukan untuk menarik investasi selama ini cenderung lebih longgar, termasuk dari sisi pajak. Artinya, ada risiko dari sisi fiskal yang perlu dilihat mengingat sekitar 80% pendapatan negara bersumber dari perpajakan.
Redaksi DDTCNews dan Tim DDTC Fiscal Research & Advisory mengidentifikasi setidaknya ada 7 aspek pajak yang perlu ditinjau. Aspek-aspek pajak ini cenderung fundamental yang tak jarang berkaitan dengan kiprah Indonesia di dunia internasional.
Pertama, status subjek pajak dan kriteria. Kedua, perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh family office. Ketiga, perlakuan PPh atas distribusi penghasilan dari family office. Keempat, perlakuan pajak bagi kegiatan filantropi.
Kelima, ketentuan antipenghindaran pajak. Keenam, kerja sama global pada bidang pajak. Ketujuh, pajak atas kekayaan dan pajak atas pengalihan harta secara nonkomersial baik melalui hibah dan warisan. Simak Analisis ‘Menguji Gagasan Family Office dari Sisi Pajak’.
Secara umum, arahnya adalah kebijakan pajak yang lebih longgar terhadap orang superkaya. Dengan demikian, di tengah upaya mewujudkan janji politik pendapatan negara mencapai 23% terhadap PDB (Asta Cita), justru akan ada potensi pajak yang hilang dari kelompok orang superkaya.
Padahal, jumlah orang pada kelompok itu diproyeksi makin banyak di Indonesia. Seperti yang telah disampaikan pemerintah, mengutip The Wealth Report, jumlah orang superkaya (ultra high net worth individual/UHNWI) – seseorang dengan kekayaan bersih US$30 juta atau lebih – secara global diproyeksi akan meningkat sekitar 28,1% pada periode 2023-2028.
Dari regionalnya, jumlah orang superkaya di Asia diproyeksi tumbuh paling tinggi, yakni 38,3%, dari 165.442 orang pada 2023 menjadi 228.849 pada 2028. Di Indonesia, jumlah UHNWI pada 2028 diproyeksi sebanyak 1.984 orang atau naik 34,1% dari posisi pada 2023 sebanyak 1.479 orang.
Pesannya bukan Indonesia tidak butuh family office, melainkan Indonesia perlu mempunyai desain yang tepat jika ingin menciptakan ekosistem itu. Kajian yang matang perlu dilakukan mengingat berbagai aspek kebijakan, termasuk pajak, bisa jadi membutuhkan perubahan undang-undang.
Benchmarking, seperti yang disampaikan pemerintah, diperlukan. Namun, pemerintah harus tetap melihat karakteristik dan kebutuhan Indonesia secara menyeluruh. Bagaimanapun kebijakan pada tataran elite tetap akan berdampak pada kelompok bawahnya meski tidak secara langsung.
Potensi yang sangat besar ini perlu ditangkap dengan instrumen yang tepat. Bisa jadi pula family office hanya akan menjadi suatu aspek yang perlu didukung hal fundamental lainnya untuk menarik investasi.
Artinya, kajian regulasi dan infrastruktur pendukungnya, termasuk pajak, harus diletakkan pada kerangka yang lebih luas. Dalam konteks ini, ada baiknya pemerintah tidak terburu-buru untuk menciptakan rezim baru. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.