Ilustrasi.
SIDENRENG RAPPANG, DDTCNews - Petugas pajak dari KP2KP Sidrap, Sulawesi Selatan memberikan penjelasan mengenai pengenaan PPh final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) kepada wajib pajak.
Seorang wajib pajak mendatangi KP2KP Sidrap lantaran kebingungan dengan besaran tarif PPh final yang harus dibayarkannya atas penghasilan dari penglihan hak atas tanah. Wajib pajak tersebut masih berpegang pada tarif PPh final 5% atas PHTB sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 71/2008.
"Perlu diketahui, PPh final atas PHTB dengan tarif 5% sebagaimana diatur dalam PP 71/2008 tersebut sudah tidak berlaku, sejak diberlakukannya PP 34/2016," kata Rio, petugas TPT KP2KP Sidrap saat menjawab pertanyaan wajib pajak dilansir pajak.go.id, dikutip pada Selasa (10/9/2024).
Sesuai dengan PP 34/2016, pengenaan PPh final atas PHTB dibagi menjadi 3 tarif.
Pertama, 0% untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah atau kepada BUMN/BUMD yang mendapatkan penugasan khusus dari pemerintah. Hal ini sejalan dengan UU yang mengatur tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Kedua, 1% untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana.
Ketiga, 2,5% untuk transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain atas rumah sederhana atau rumah susun sederhana.
"Berdasarkan kondisi Bapak, perhitungan pajak atas pengalihan hak atas tanah menggunakan tarif 2,5% dikalikan dengan nilai transaksi penjualan tanah," kata Rio.
Namun, tidak semua wajib pajak yang mengalihkan hak atas tanah/bangunan dikenakan PPh final PHTB. Berdasarkan pada Pasal 6 PP 34/2016, setidaknya terdapat 7 golongan wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh final PHTB.
Pertama, orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
Kedua, orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.
Ketiga, badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.
Keempat, pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris.
Kelima, badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku.
Keenam, orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan.
Ketujuh, orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
Sebagai ilustrasi, mengutip langsung dari PP 34/2016, PT Bangun Property menjual 1 unit apartemen seharga Rp1.000.000.000. Tuan Adi membayar uang muka senilai Rp400.000.000 pada 25 Februari 2024 dan sisanya diangsur selama 24 bulan.
Meskipun belum dilakukan penandatanganan akta jual beli antara PT Bangun Poperty dengan Tuan Adi, atas transaksi tersebut telah terutang PPh yaitu pada saat diterimanya uang muka senilai Rp400.000.000 dan saat diterimanya angsuran senilai Rp25.000.000 setiap bulannya.
Kemudian, apabila PT Bangun Property mengenakan tambahan biaya senilai Rp1.000.000 sebagai kompensasi pembayaran melalui angsuran selain pokok angsuran setiap bulan yang senilai Rp25.000.000 tersebut, maka dasar pengenaan PPh setiap bulannya adalah senilai Rp26.000.000.
Pada kondisi tersebut, PT Bangun Property wajib membayarkan PPh yang terutang atas pembayaran uang muka, yaitu sebesar 2,5% dari Rp400.000.000 atau senilai Rp10.000.000, paling lambat tanggal 15 bulan Maret 2024. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Bahasanya membagongkan....
Ratio perhitungannya kaya nggak benar dan masuk akal kami orang awam nggak paham metode penghitungannya kalau terjadi ketidak pahaman bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan akan banyak sengketa pajak dan sengketa hukum dikemudian hari jadi rugilah negara dan rakyatnya yang miskin tambah miskin yang kaya makin kaya .....salam akal sehat
Sisanya 2.5% buat dibagi bagi dgn pejabat..
@raditya: BPHTB beda dgn PPh final yg dimaksud dalam artikel ini. Ini pajak yg harus dibayar oleh penjual, BPHTB adalah bea yg harus dibayar oleh pembeli property
Masalahnya Pihak Notaris dan BPN tetap ngotot kalo BPHTB 5%, ga mau terima BPHTB 2,5%... Walopun sudah ditunjukkan aturannya... kalo gini gmana min?