Ilustrasi. Kantor Pusat DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) akan mengoptimalkan pengawasan penerimaan terhadap wajib pajak pelaku usaha ekonomi digital. Langkah otoritas tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (5/3/2021).
Pengawasan itu menjadi salah satu rencana aksi pada 2021. Pasalnya, berdasarkan pada perkembangan yang terjadi pada masa pandemi Covid-19, kegiatan usaha yang dilakukan melalui tatap muka bergeser ke arah virtual yang memanfaatkan teknologi informasi.
“Kegiatan tersebut melahirkan aktivitas-aktivitas ekonomi baru yang menghasilkan pendapatan bagi para pelakunya,” tulis otoritas dalam Laporan Kinerja (Lakin) DJP 2020.
Adapun kegiatan pengawasan pada tahun ini dilakukan terhadap wajib pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dalam negeri; wajib pajak PMSE luar negeri; wajib pajak Youtuber, Selebgram, dan Tiktoker; serta wajib pajak esport.
Selain mengenai pengawasan, ada pula bahasan tentang perubahan tata cara pemeriksaan yang masuk dalam PMK 18/2021. Beleid tersebut merupakan salah satu peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Selain wajib pajak pelaku usaha ekonomi digital, wajib pajak yang memiliki kekayaan tinggi (high wealth individual/HWI) beserta group usahanya dan wajib pajak strategis juga diawasi DJP. Menurut DJP, ada potensi besar dari wajib pajak HWI dan kedudukannya sebagai beneficial owner dari seluruh bisnis usaha yang dijalankan.
Selain itu, kegiatan optimalisasi pengawasan wajib pajak strategis pada 2021 akan diarahkan pada beberapa program, yaitu meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) pengawasan dan melanjutkan program penyempurnaan aplikasi Approweb.
“Data SPT Tahunan yang berkualitas diharapkan memberikan input aplikasi pengawasan seperti Approweb dan CRM (compliance risk management) yang akurat sehingga memberikan output analisis yang akurat,” tulis DJP. (DDTCNews)
Melalui PMK 18/2021, pemerintah mengubah beberapa ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan Perubahan tertuang dalam Pasal 105 PMK yang menjadi peraturan pelaksana UU Cipta Kerja tersebut. Melalui pasal tersebut, pemerintah merevisi 17 Pasal yang tercantum dalam PMK 17/2013 s.t.d.d. PMK 184/2015.
Secara garis besar, terdapat 6 ruang lingkup perubahan yang tercantum dalam Pasal 105 PMK 18/2021. Salah satunya adalah penambahan ruang lingkup pemeriksaan. Simak selengkapnya pada artikel ‘PMK 18/2021 Terbit, Tata Cara Pemeriksaan Pajak Diubah’. (DDTCNews)
Perpanjangan jangka waktu dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan kini diberikan selama maksimal 12 bulan. Perpanjangan jangka waktu tersebut lebih singkat dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang dapat diberikan maksimal 24 bulan.
Penyesuaian jangka waktu tersebut tertuang dalam Pasal 5 ayat (4) PMK 239/2014 s.t.d.d. PMK 18/2021. Berdasarkan pada pasal tersebut, apabila pemeriksa tidak dapat melaksanakan pemeriksaan bukti permulaan dalam jangka waktu yang ditentukan maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan. Simak ‘Perpanjangan Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan Dipangkas’. (DDTCNews)
Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Joe Biden mencabut usulan safe harbour approach dalam proposal pajak digital Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yakni Pillar 1: Unified Approach.
Komitmen untuk tidak mengusung safe harbour approach dalam pelaksanaan Pillar 1 disampaikan oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen kepada kementerian keuangan negara mitra pada pertemuan G-20. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
DJP menggelar survei terkait dengan implementasi aplikasi e-faktur 3.0 yang sudah diberlakukan secara nasional sejak 1 Oktober 2020. DJP mengatakan sedang melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi atas implementasi aplikasi e-faktur 3.0 yang memuat fitur tambahan berupa prepopulated pemberitahuan impor barang (PIB), prepopulated e-faktur.
Masukan yang disampaikan melalui http://bit.ly/monevEfaktur30 akan menjadi bahan perbaikan aplikasi e-faktur di masa mendatang. Kuesioner ini terbuka bagi wajib pajak pengguna e-faktur dan pegawai DJP. Pengisian dapat dilakukan sampai dengan 10 Maret 2021. (DDTCNews)
Mengenai wacana kebijakan tax amnesty jilid II, Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan langkah itu justru akan memberikan disinsentif bagi wajib pajak yang patuh pajak. Wacana itu membutuhkan justifikasi yang kuat.
Secara umum, ada 4 alasan utama perlu dilakukannya pengampunan pajak, yaitu meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek, menjaga ekosistem kepatuhan pajak, mendorong repatriasi dana di luar negeri, dan menjadi jembatan untuk menyongsong sistem pajak baru yang lebih baik. Dalam konteks saat ini, tidak ada justifikasi yang kuat.
Dari sisi kepatuhan jangka panjang, adanya pengampunan pajak berulang justru akan menciptakan moral hazard. Masyarakat akan melihat pemerintah justru memberikan insentif bagi wajib pajak yang tidak patuh alias insentif atas ketidakpatuhan. (Kontan)
Sri Mulyani meminta DJP menggencarkan sosialisasi mengenai pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) pada faktur pajak kepada para pelaku usaha. Meski demikian, dia tidak berencana menunda pelaksanaan ketentuan baru tersebut.
"Kami sebetulnya berusaha untuk terus melakukan sosialisasi mengenai pentingnya apa yang disebut pengadministrasian, dan juga dari sisi lawan transaksinya. Supaya semuanya tak ada yang dirugikan," ujarnya. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Dalam pemungutan pajak, dikenal asas equality/kesetaraan. Langka DJP melakukan pengawasan bagi Wajib Pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam negeri maupun luar negeri, seperti Youtuber, Selebgram, dan Tiktoker, serta esport merupakan cerminan dari asas equality/kesetaraan karena DJP memiliki tujuan untuk menciptakan level playing field dan juga equality/kesetaraan dengan Wajib Pajak pelaku usaha konvensinal.
Bergesernya kegiatan usaha ke arah virtual di masa pandemi ini mengakibatkan pesatnya peningkatan aktivitas ekonomi baru secara digital. Sehingga, DJP perlu untuk mengawasi para pelaku usaha ekonomi digital seperti pedagang di e-commerce, youtuber, selebgram, dll agar nantinya penerimaan pajak menjadi optimal dan sekaligus juga menciptakan kesetaraan bagi setiap pelaku usaha terutama pelaku usaha ekonomi konvensional.
Pengawasan terhadap wajib pajak pelaku usaha ekonomi digital ini memang diperlukan agar tercipta keadilan bagi setiap para wajib pajak.