Dosen Program Studi Perpajakan Universitas Brawijaya Kartika Putri Kumalasari saat memberikan paparan dalam webinar Penerapan Alternative Minimum Tax di Indonesia, Rabu (18/8/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Penerapan pajak penghasilan (PPh) minimum atau alternative minimum tax (AMT) dinilai tidak bersifat opsional, tetapi akan berjalan paralel dengan sistem PPh yang berlaku secara umum.
Dosen Program Studi Perpajakan Universitas Brawijaya Kartika Putri Kumalasari menjelaskan, dalam penerapan AMT, nilai pajak terutang wajib pajak badan akan tetap dihitung baik dengan memakai rezim, baik PPh badan normal maupun AMT.
“Apabila nilai pajak terutang dari rezim normal PPh badan lebih tinggi dari hasil perhitungan rezim AMT, otoritas menggunakan nilai pajak terutang dari rezim normal. Hal ini pun berlaku sebaliknya,” katanya dalam webinar Penerapan Alternative Minimum Tax di Indonesia, Rabu (18/8/2021).
Namun, lanjut Kartika, rezim AMT memperkenankan adanya carry over guna menjamin keadilan dan mencegah pemajakan yang berlebihan. Artinya, selisih pembayaran pajak rezim AMT dengan rezim normal dapat dijadikan pengurang pajak terutang dalam perhitungan pajak mekanisme normal periode setelahnya.
“Maksud AMT hanya ingin memitigasi. Walaupun dibilangnya rugi, tetapi setidaknya perusahaan tetap memberikan sesuatu pada negara. Tidak semua yang rugi dikenakan AMT, tetapi akan dilihat kerugiannya, natural ataukah hanya untuk menghindari pajak,” ujarnya.
Kartika menjelaskan AMT tidak bersifat menguji atau menelusuri detail transaksi yang ditengarai berisiko base erosion and profit shifting (BEPS). Menurutnya, AMT lebih ingin menjamin setidaknya setiap korporasi membayar ‘suatu nilai minimum pajak’ pada negara.
AMT juga dapat menjadi alat pencegahan penggerusan basis pajak. Sebab, AMT memakai dasar pengenaan pajak alternative (alternative tax base) yang lebih sulit dimanipulasi melalui perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning).
Kartika juga menguraikan analisis kebijakan AMT berdasarkan teori William Dunn. Dia menyebut terdapat lima fase yang dianalisis. Pertama, dari sisi agenda setting, memang sudah saatnya ada perubahan radikal pada UU PPh termasuk menerapkan AMT.
Kedua, dari sisi formulasi kebijakan, hasil analisis menunjukkan Rancangan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) sudah sejalan dengan imbauan pedoman global karena memiliki permasalahan menahun yang sama dengan negara lain.
Ketiga, dari sisi adopsi kebijakan/legitimasi kebijakan, wacana kebijakan AMT sudah sejalan dengan ketentuan PPh dalam UU Cipta Kerja. Keempat, dari sisi implementasi kebijakan, perubahan materi AMT bersinggungan dengan Pasal 28 UU PPh mengenai kredit pajak.
Kelima, dari sisi penilaian/evaluasi kebijakan, penerapan AMT memerlukan peraturan penunjang yang jelas sehingga mudah diimplementasikan. Evaluasi juga diperlukan untuk mengubah kelemahan AMT agar menjadi keunggulan.
Kendati sepakat dengan penerapan AMT, Kartika menekankan empat hal yang perlu diperhatikan antara lain aturan yang jelas antara PPh minimum dan fasilitas PPh yang berkaitan dengan modal asing, ruang lingkup AMT, sosialisasi, serta pengawasan pelaksanaan AMT.
“Penerapan AMT ini tidak overlapping, tetapi justru saling melengkapi dan menguatkan aturan yang sudah ada, juga yang akan datang contohnya seperti general anti-avoidance rule (GAAR),” ujarnya dalam webinar yang dihadiri oleh 611 orang.
Dalam kesempatan yang sama, Kartika juga menjelaskan tentang latar belakang penerapan AMT, bagaimana rencana AMT dalam RUU KUP beserta ilustrasi perhitungannya, dan bagaimana penerapan AMT di negara lain.
Webinar yang digelar DDTC Academy ini merupakan salah satu seri dari Webinar Series: University Roadshow. Acara ini juga menjadi bagian dari rangkaian acara untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Terimakasih atas penjelasannya