Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merevisi ayat penjelas dari Pasal 18 ayat (3) UU Pajak Penghasilan (PPh).
Instrumen baru yang tersedia pada ayat penjelas dari Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang telah direvisi dengan UU HPP diharapkan dapat mengoptimalkan pencegahan penghindaran pajak, khususnya melalui transfer pricing.
"Terdapat 3 isu penting yang diatur, yaitu penambahan metode penentuan harga wajar, penerapan benchmarking, dan secondary adjustment," tulis Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi November 2021, dikutip Selasa (30/11/2021).
Pada ayat penjelas Pasal 18 ayat (3), 3 metode baru yang dapat digunakan oleh Ditjen Pajak (DJP) untuk menentukan kembali besarnya penghasilan serta pengurangan untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah comparable uncontrolled transaction method, tangible asset and intangible asset valuation, dan business valuation.
Sebelum direvisi melalui UU HPP, metode yang dapat digunakan untuk menentukan kembali penghasilan adalah comparable uncontrolled price method, resale price method, cost-plus method, profit split method, dan transactional net margin method.
Selain ketiga metode baru tersebut, Pasal 18 ayat (3) juga memungkinkan penerapan benchmarking atau perbandingan kinerja keuangan.
Bila wajib pajak melaporkan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan dengan wajib pajak dalam bidang usaha yang sejenis atau bila wajib pajak melaporkan rugi secara tidak wajar meski telah beroperasi komersial selama 5 tahun, benchmarking dapat diterapkan untuk menghitung pajak yang seharusnya terutang.
"Pada UU PPh, ketentuan ini belum diatur secara jelas. UU HPP memberikan kejelasan atas wajib pajak mana dapat diterapkan benchmarking," tulis Kementerian Keuangan.
Terakhir, ayat penjelas dari Pasal 18 ayat (3) juga turut mengatur tentang secondary adjustment. Pada ayat penjelas, ditegaskan selisih antara nilai transaksi yang tidak sesuai dan yang sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha dianggap sebagai dividen dan dikenai PPh. Hal ini sesungguhnya telah diatur pada Pasal 22 ayat (8) PMK 22/2020.
"Dengan penyebutan secara eksplisit di dalam UU HPP, penerapan secondary adjustment akan semakin memperkuat
otoritas pajak dalam menambal kebocoran penerimaan negara," tulis Kementerian Keuangan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.