Konsep perdagangan karbon melalui bursa yang disiapkan BEI.
JAKARTA, DDTCNews - Transaksi karbon melalui bursa karbon ditargetkan bisa mulai dilakukan pada semester kedua tahun ini. Pelaksanaan bursa karbon sendiri akan melengkapi infrastruktur perdagangan karbon secara langsung yang sudah lebih dulu berjalan.
Perdagangan karbon, sebagai upaya menekan emisi gas rumah kaca, bisa dilakukan dengan 2 mekanisme. Pertama, perdagangan langsung seperti yang sudah dimulai oleh 42 perusahaan PLTU batu bara. Kedua, melalui bursa karbon yang infrastrukturnya tengah disiapkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Di kuartal pertama [2023] kami sudah melakukan pengembangannya. Harapannya di kuartal III bisa diselesaikan dan dapat lisensi dari OJK. Transaksi bisa dilakukan di semester kedua 2023," kata Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BEI Ignatius Denny Wicaksono, dikutip pada Kamis (23/2/2023).
BEI menyiapkan 2 konsep penyelenggaraan perdagangan karbon melalui bursa karbon. Nantinya, ada 2 pasar untuk bursa karbon yang diperdagangkan di Indonesia.
Pertama, perdagangan dalam satu subsektor. Misalnya, untuk saat ini adalah perdagangan karbon khusus di subsektor ketenagalistrikan. Pada subsektor yang sama, bisa diperdagangkan emisi berupa Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) ataupun offset emisi gas rumah kaca berupa Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK).
Kedua, perdagangan antarsektor. Misalnya, subsektor ketenagalistrikan bisa ikut memperjualbelikan unit karbonnya dengan subsektor di bawah otorisisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Unit karbon yang dijual adalah SPE GRK saja.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Taslim menambahkan, carbon pricing sebenarnya adalah kebijakan yang dapat meningkatkan efisiensi energi, mengurangi ketergantungan energi karbon, dan mengurangi ketergantungan pada energi impor. Lebih jauh lagi, carbon pricing bisa menjadi sumber pendapatan bagi perusahaan dan negara.
Merujuk laporan World Bank tahun 2022, pendapatan global dari carbon pricing naik sebesar 60% dibandingkan pada 2021, menjadi sekitar US$84 miliar. Naiknya pendapatan carbon pricing disebut dapat mendukung ekonomi berkelanjutan dan membantu pemerintah untuk menyangga gejolak ekonomi internasional.
"Mengadopsi carbon pricing ada tantangannya, khususnya di tengah meningkatnya inflasi dan harga energi. Kebijakan ini perlu dipastikan dilakukan secara adil, efektif, dan terintegrasi antara kebijakan iklim dan sosial," kata Arifin.
Sebelumnya, Kementerian ESDM secara resmi meluncurkan perdagangan karbon. Mulai 2023, perdagangan karbon akan dilakukan di subsektor pembangkit tenaga listrik dalam tahap mandatory.
Dalam fase I yang akan berlangsung sampai 2024, perdagangan karbon akan dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 megawatt (MW).
"Untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon tersebut, Kementerian ESDM telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE)," ujar Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu dalam Peluncuran Perdagangan Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.
Untuk pelaksanaan tahun ini, Jisman menyampaikan, Kementerian ESDM telah menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) kepada 99 unit PLTU Batubara milik 42 perusahaan. Seluruh 42 perusahaan tersebut akan menjadi peserta perdagangan karbon dengan total kapasitas terpasang 33.569 MW.
Sebagai informasi, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui jual beli unit karbon. Perdagangan karbon dijalankan melalui 2 mekanisme, yakni perdagangan emisi dan offset emisi.
Dalam praktiknya nanti, unit pembangkit yang menghasilkan emisi melebihi batas pada PTBAE-PU punya kewajiban untuk membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah batas pada PTBAE-PU.
Opsi lainnya, pembangkit yang menghasilkan emisi berlebih bisa membeli sertifikat pengurangan emisi (SPE). Kemudian, sisa surplus emisi dari PTBAE-PU bisa diperdagangkan pada tahun berikutnya paling lama 2 tahun, terhitung sejak akhir perdagangan karbon dan tidak melebihi fase perdagangan karbon. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.