Ilustrasi. (DDTCNews)
MATARAM, DDTCNews – Pengelolaan aset milik Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB) dinilai tidak optimal dan justru merugikan daerah karena besarnya potensi pendapatan yang hilang.
Pengelolaan aset yang tidak optimal tersebut berlaku untuk izin pemanfaatan lahan seluas 65 hektar di kawasan Gili Trawangan kepada PT Gili Trawangan Indah (GTI). Rencananya, Kejaksaan Tinggi NTB akan menelusuri kerja sama yang berpotensi merugikan pemerintah.
Kepala Kejati NTB Tomo Sitepu mengatakan saat ini tengah dilakukan kajian komprehensif perihal kerja sama antara Pemprov NTB dan PT GTI. Berbagai laporan dari KPK, temuan BPK dan Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu akan dikumpulkan sebagai bahan utama kajian hukum.
"Kami ingin menyamakan persepsi dulu. Setelah komprehensif baru kita ambil langkah lanjutan yang akan dilakukan Jaksa Pengacara Negara," katanya dikutip Senin (11/1/2021).
Laporan perihal pengelolaan aset pemprov di Gili Trawangan antara lain berasal dari KPK dan DJKN Kemenkeu. Menurutnya, KPK menilai skema kerja sama pemprov di Gili Trawangan itu membuat pemerintah kehilangan potensi pendapatan hingga Rp24 miliar per tahun.
Selanjutnya, laporan DJKN Kemenkeu menyebutkan nilai perputaran ekonomi untuk lahan di Gili Trawangan tembus Rp2,3 triliun setiap tahun. Hal tersebut berbanding terbalik dengan penerimaan yang dikumpulkan Pemprov NTB.
Kejati menyoroti kerja sama Pemprov NTB dengan PT GTI untuk pengelolaan Gili Trawangan hanya menghasilkan royalti bagi pemerintah sebesar Rp22,5 juta per tahun. Selain itu, PT GTI hanya efektif menggarap 20% dari total lahan kerja sama seluas 65 hektar dan sisanya tidak jelas landasan hukum penggunaan lahan oleh pihak ketiga.
"Pidananya ada, tapi bukan korupsi. tapi bagaimanapun juga kami sifatnya persuasif terhadap masyarakat yang ada di sana. Kami berharap mereka bisa sukarela tinggalkan lokasi dan kembalikan ke Pemprov NTB," tutur Tomo.
Rekomendasi awal sudah diserahkan Kejati kepada Pemprov NTB pada tahun lalu berupa kerja sama kontrak batal demi hukum. Pasalnya, kerja sama yang diteken pada 1995 menyalahi UU No.5/1960 terkait pokok-pokok agraria. Kejati menyebutkan Hak Guna Bangunan (HGB) hanya berlaku selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.
"Sementara perjanjian PT GTI dengan Pemprov NTB berlangsung 70 tahun tanpa ada proses evaluasi setiap lima tahun. Kedudukan perjanjian ini bertentangan dengan Kitab Undang Undang Hukum (KUH) Perdata," terangnya seperti dilansir suarantb.com. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.