Managing Partner DDTC Darussalam saat memaparkan materi dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Urgensi Pembentukan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diselenggarakan Badan Keahlian DPR, Selasa (6/4/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Pakar menilai masih ada beberapa aspek dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang perlu direvisi.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan dari sisi penamaan UU, pemerintah perlu memikirkan apakah UU KUP akan dinamai sebagai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Pajak.
“Perpajakan dan pajak itu membawa konsekuensi logis yang signifikan,” ujar Darussalam dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Urgensi Pembentukan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diselenggarakan Badan Keahlian DPR, Selasa (6/4/2021).
Merujuk pada nota keuangan beserta UU APBN, sambung dia, perpajakan memiliki arti yang luas. Perpajakan, dalam dokumen tersebut, mencakup pajak yang dikelola Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
Bila UU ini disebut sebagai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, muncul pertanyaan mengenai pemberlakuan ketentuan umum untuk kepabeanan dan cukai. Pasalnya, masalah ini sering menjadi pertanyaan banyak pihak sehingga perlu ditindaklanjuti pada rencana revisi UU KUP kali ini.
Selanjutnya, Darussalam mengatakan revisi UU KUP perlu menyelesaikan ketentuan yang masih belum konsisten. Pada Pasal 8 ayat (4) UU KUP yang telah diubah melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, wajib pajak dengan kesadarannya dapat mengungkapkan ketidakbenaran dalam pengisian SPT ketika DJP telah melakukan pemeriksaan dengan syarat DJP belum menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP).
Namun, Pasal 8 ayat (1) PP 74/2011 yang telah diubah melalui PP 9/2021 menyatakan hal yang lain. Pada pasal tersebut, wajib pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran dalam pengisian SPT sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP).
Darussalam juga berpesan agar revisi UU KUP juga turut menyelesaikan masalah ketidakpastian dalam ketentuan pajak, terutama dalam hal pemeriksaan.
Pasalnya, selama ini tindak lanjut atas pemeriksaan bisa berupa penerbitan SKP atau ditindaklanjuti sebagai pemeriksaan bukti permulaan (Bukper). Menurut Darussalam, perlu ada rambu-rambu yang jelas antara penerbitan SKP dan pemeriksaan Bukper sebagai tindak lanjut atas pemeriksaan.
"Yang namanya pemeriksaan harusnya jelas. Kalau harusnya di-SKP ya di-SKP. Kalau hasilnya harus di-Bukper maka harus di-Bukper,” imbuhnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, revisi UU KUP masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2021. Simak ‘33 RUU Disepakati Masuk Prolegnas 2021, RUU KUP Termasuk’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.