EKONOMI DIGITAL

Soal Pemajakan Ekonomi Digital, IMF Ikut Angkat Suara

Redaksi DDTCNews | Jumat, 22 Maret 2019 | 15:36 WIB
Soal Pemajakan Ekonomi Digital, IMF Ikut Angkat Suara

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCnews – International Monetary Fund (IMF) yang selama ini jarang menyentuh area kebijakan pajak mulai angkat bicara atas isu global yang menghangat terkait pemajakan dan digitalisasi ekonomi.

Hal ini tertuang dalam policy paper terbaru IMF berjudul ‘Coorporate Taxation in the Global Economy’. Dokumen yang dirilis pada Minggu (10/3/2019) ini ditujukan untuk mengarahkan pembahasan dalam proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

“Banyak proposal pemajakan ekonomi digital yang kurang memadai dalam mengatasi masalah pengalihan laba dan kompetisi pajak,” demikian pernyataan Dewan Eksekutif IMF dalam Policy Paper tersebut, seperti dikutip pada Jumat (22/3/2019).

Baca Juga:
Malaysia Sebut Pajak Minimum Global Berdampak Baik ke Keuangan Negara

IMF menyebut perkembangan kerangka inklusif dari BEPS sudah menunjukkan hasil yang positif, sejak diterbitkannya IMF PolicyPaper pada 2014. Kala itu, Policy Paper mengangkat isu pemajakan perusahaan internasional.

Namun, Proyek BEPS dinilai masih lemah dalam menindaklanjuti kompetisi pajak, terutama dalam konteks ekonomi digital. Permasalahan yang dibahas oleh BEPS dinilai hanya berkisar pada tataran prinsip arm’s-length principle dan bagaimana menentukan bentuk kehadiran fisik atas fenomena perusahaan dengan laba besar namun membayar pajak sangat rendah.

Maraknya langkah pemajakan atas ekonomi digital yang bersifat unilateral di beberapa negara juga dinilai berisiko menciptakan kompleksitas yang merugikan kerja sama pajak.

Baca Juga:
Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

“Koordinasi pajak global masih berada dalam tekanan walaupun platformnya sudah ada. Aliansi institusi global antara IMF, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), United Nations (UN), dan World Bank (WB) sebenarnya bisa membantu pencapaian ini,” imbuh mereka.

Dalam masalah pengalihan laba sendiri, IMF mengatakan kordinasi antarpemerintah dan peran penetapan aturan yang dilakukan OECD dinilai gagal. Untuk masalah ini, IMF sependapat dengan Independent Commission for the Reform of International Corporate Taxation (ICRICT).

Baik IMF maupun ICRICT menekankan urgensi dari metode Global Formulary Apportionment (GFA) dalam konteks penentuan harga transfer (transfer pricing) di era digitalisasi ekonomi.

Baca Juga:
DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Sebagai informasi, GFA merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menentukan alokasi laba perusahaan multinasional dalam transfer pricing berdasarkan kontribusi masing-masing entitas dalam rantai nilai grup perusahaan multinasional.

Hal ini berkebalikan dengan BEPS yang berfokus pada value creation untuk memajaki laba perusahaan. Namun demikian, IMF dalam policy paper itu menekankan bahwa metode GFA dapat memperparah kompetisi pajak.

Menurut dokumen ini, cara terbaik dalam mengatasi pengalihan laba dan kompetisi pajak adalah dengan mengalokasikan hak pemajakan berbasis negara tujuan, baik melalui pendekatan banyaknya penjualan maupun kriteria serupa lainnya.

Baca Juga:
Sederet Rekomendasi OECD untuk Indonesia dalam Meningkatkan Tax Ratio

Pemajakan atas arus kas berbasis negara tujuan (destination based cash flow tax) yang diadopsi secara universal akan melindungi negara-negara atas pengalihan laba dan kompetisi pajak. Sementara, kebijakan unilateral atau bukan hasil konsensus global dapat memperparah kompetisi pajak.

“Walaupun ada ketidakpastian hukum berkaitan dengan aturan World Trade Organization (WTO) dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), ini mungkin solusi yang paling lengkap,” kata Dewan Eksekutif IMF. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 13 Desember 2024 | 11:30 WIB PAJAK INTERNASIONAL

Majelis Umum PBB Resmi Adopsi ToR Pembentukan Konvensi Pajak

Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Minggu, 08 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Rekomendasi OECD untuk Indonesia dalam Meningkatkan Tax Ratio

BERITA PILIHAN
Sabtu, 28 Desember 2024 | 09:30 WIB KILAS BALIK 2024

Mei 2024: Fitur e-Bupot Diperbarui, Insentif Perpajakan di IKN Dirilis

Sabtu, 28 Desember 2024 | 09:00 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

DJP Sampaikan 491 Laporan Gratifikasi di 2023, Nilainya Rp691,8 Miliar

Sabtu, 28 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

DJBC Kembangkan Aplikasi CEISALite, Hanya Aktif Jika Hal Ini Terjadi

Sabtu, 28 Desember 2024 | 07:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Login Aplikasi Coretax DJP

Jumat, 27 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

NIB Pelaku Usaha Bisa Berlaku Jadi ‘Kunci’ Akses Kepabeanan, Apa Itu?

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA SELATAN I

Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah