Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Santun Maspari Siregar saat memberikan paparan. (tangkapan layar Youtube KPK)
JAKARTA, DDTCNews – Identifikasi pemilik manfaat (beneficial owner/BO) korporasi sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/2018 masih menemui kendala. Selain itu, pelaporan informasi BO masih rendah.
Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Santun Maspari Siregar mengatakan tiga dari empat kriteria pemilik manfaat dari korporasi ini mudah dideteksi karena secara legal sudah terlampir pada akta.
Ketiga kriteria itu adalah kepemilikan saham lebih dari 25%, kepemilikan hak suara lebih dari 25%, serta penerimaan keuntungan atau laba lebih dari 25% dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun. Kepemilikan saham dan hak suara itu tercantum dalam anggaran dasar.
Namun, ada empat kriteria lain yang sulit diidentifikasi. Pertama, kepemilikan kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris. Kedua, kriteria menerima manfaat dari perseroan terbatas.
Ketiga, kepemilikan kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun. Keempat, ketentuan merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.
“Bagaimana memastikannya? Yang tahu persis terkait BO ini adalah perseroan," ujar Santun dalam sebuah webinar, Kamis (4/6/2020).
Lebih lanjut, Santun menerangkan notaris memiliki perananan besar dalam menentukan BO dari suatu korporasi. Namun, masalah yang timbul dari sini adalah bila penghadap (perusahaan) enggan mengungkapkan siapa BO dari suatu korporasi yang dimaksud.
"Kalau tidak ada maka menurut kami harus terjemahkan BO adalah mereka yang sahamnya di atas 25%," imbuhnya.
Sanksi dari ketidakpatuhan pada pelaporan BO juga tidak bisa dibilang efektif karena dalam pasal 24 hanya disebutkan bahwa ketidakpatuhan hanya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak ada sanksi khusus. Menurut Santun, hal ini perlu dipertegas.
Hingga 3 Juni 2020, pelaporan informasi BO juga masih tergolong rendah. Tercatat, baru 80.085 perseroan dari 964.359 perseroan yang sudah memenuhi kewajiban pelaporan informasi BO kepada Ditjen AHU melalui AHU Online.
Namun, realisasi pelaporan informasi BO pada Juni ini masih lebih baik dibandingkan Maret lalu. Pelaporan pada Maret 2020 hanya mencapai 38.000 perseroan. Dengan ini, ada peningkatan sebanyak 2,5 kali lipat.
Hal ini dikarenakan Ditjen AHU mulai menerapkan sanksi bila perseroan tidak melaporkan informasi BO. Jika tidak melapor, seluruh proses pelayanan pada Ditjen AHU untuk korporasi yang dimaksud bakal dihentikan hingga pelaporan informasi BO dilaksanakan.
"Ini mendorong peningkatan pelaporan BO," kata Santun.
Untuk meningkatkan pelaporan informasi BO dan memperkuat database informasi BO ke depan, Santun mengatakan pihaknya akan mengadakan jabatan fungsional baru yang melakukan pengawasan atas BO.
Bagian ini akan melaksanakan dua regulasi sekaligus yakni Permenkumham No. 15/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dan Permenkumham No. 21/2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi.
Santun mengatakan pihaknya juga mendorong kementerian lain yang terlibat dalam kerja sama penguatan data BO bersama dengan Kemenkumham yakni Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, hingga Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk turut berkontribusi pada data tersebut.
Bila database informasi BO tak kunjung membaik, dikhawatirkan ada kendala pada peningkatan peringkat ease of doing business (EoDB). (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.