Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ada jenis-jenis penghasilan tertentu yang tidak bisa memanfaatkan tarif pajak penghasilan (PPh) dengan tarif final 0,5%. Jenis penghasilan tersebut diatur di dalam Pasal 56 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Topik ini cukup mendapat sorotan oleh netizen sepanjang pekan ini.
Pada prinsipnya, wajib pajak dapat memanfaatkan tarif PPh final UMKM 0,5% sepanjang penghasilannya tidak termasuk dalam kriteria Pasal 56 ayat (3) PP 55/2022.
Merujuk pada Pasal 56 ayat (1) PP 55/2022, penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri yang memiliki omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak dapat dikenai PPh final dalam jangka waktu tertentu.
“Tarif PPh yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5%,” bunyi penggalan Pasal 56 ayat (2) PP 55/2022.
Namun demikian, terdapat beberapa penghasilan yang tidak dapat dikenai PPh final 0,5%. Pertama, penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Kedua, penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
Ketiga, penghasilan yang telah dikenai PPh final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri. Keempat, penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
“Sepanjang badan usaha tidak termasuk kriteria yang dimaksud pasal 56 ayat (3) PP 55/2022 maka badan usaha tersebut berhak menggunakan PPh final UMKM yang 0,5%,” jelas Kring Pajak.
Tambahan informasi, jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas yang tidak bisa dikenai PPh final 0,5% sebagaimana disebutkan dalam poin pertama meliputi, pertama, tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris.
Kedua, pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari.
Ketiga, olahragawan. Keempat, penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. Kelima, pengarang, peneliti, dan penerjemah. Keenam, agen iklan. Ketujuh, pengawas atau pengelola proyek. Kedelapan, perantara. Kesembilan, petugas penjaja barang dagangan.
Kesepuluh, agen asuransi. Terakhir, distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pemberitaan mengenai penggunaan PPh final 0,5%, masih ada sejumlah artikel menarik lainnya untuk kembali diulas. Di antaranya, ketentuan mengenai NPWP 000 pada e-faktur 4.0, rencana kenaikan PPN menjadi 12%, skema restitusi pada coretax system, serta target pemadanan NIK-NPWP.
DJP kembali mengingatkan tentang penggunaan NPWP 000 pembeli dalam pembuatan faktur pajak.
Contact center DJP Kring Pajak mengatakan sejak e-faktur 4.0 diimplementasikan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 000 tidak dapat digunakan untuk lawan transaksi yang merupakan orang pribadi subjek pajak dalam negeri (SPDN).
“Sejak e-faktur 4.0, NPWP Pembeli 000 hanya dapat digunakan jika lawan transaksi adalah subjek pajak luar negeri (SPLN) dan bukan subjek pajak sebagaimana diatur di UU PPh s.t.d.t.d UU 6/2023,” tulis Kring Pajak. (DDTCNews)
Kemenko Perekonomian menyatakan pemerintah telah membuat simulasi mengenai dampak kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Sesmenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 telah diamanatkan oleh UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sebelum diterapkan, pemerintah melakukan simulasi mengenai keuntungan dan kerugiannya.
"Sudah kami simulasikan plus-minusnya. Kira-kira potensinya berapa, kemudian dampaknya ke sektor usaha," katanya. (DDTCNews)
Saat coretax administration system (CTAS) diimplementasikan,DJP akan menyediakan kemudahan terkait dengan restitusi pajak.
Nantinya, ketika terjadi kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak dapat meminta pengembalian. Untuk wajib pajak dengan kriteria-kriteria tertentu, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak langsung diselesaikan oleh sistem.
“Apabila terjadi kelebihan pembayaran pajak maka Anda dapat meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak, yang dapat langsung diproses dan diselesaikan oleh sistem untuk wajib pajak dengan kriteria-kriteria tertentu,” tulis DJP dalam laman resminya. (DDTCNews)
DJP mengeklaim telah mencapai target implementasi nomor induk kependudukan (NIK), nomor pokok wajib pajak (NPWP) berformat 16 digit, dan nomor identitas tempat kegiatan usaha (NITKU) dalam layanan pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan DJP menargetkan NIK, NPWP 16 digit, dan NITKU sudah bisa digunakan pada 37 layanan perpajakan per awal Agustus 2024. Target tersebut sudah tercapai.
"Dari 37 layanan perpajakan yang ditargetkan dapat menggunakan NPWP 16 digit pada awal Agustus 2024, saat ini seluruh layanan tersebut sudah dapat diakses menggunakan NPWP 16 digit, NITKU, dan NPWP 15 digit," ujar Dwi. (DDTCNews)
Saat coretax administration system (CTAS) diimplementasikan, ada beberapa jenis Surat Pemberitahuan (SPT) yang akan tersedia secara otomatis (auto created).
Seperti diketahui, dengan CTAS, cakupan pengisian SPT dengan metode prepopulated akan diperluas. Terlebih, ada integrasi antara faktur pajak dan bukti potong pajak dalam 1 sistem.
“Apa saja jenis SPT yang auto created? SPT Masa PPN, SPT Tahunan PPh badan, SPT Masa PPN PMSE, SPT Masa bea meterai, SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak),” tulis Ditjen Pajak (DJP) dalam laman resminya. (DDTCNews) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.