Ilustrasi. Gedung Kemenkeu. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah berencana lebih membatasi pemberian fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) dan mengatur ulang batasan pengusaha kena pajak (PKP). Rencana kebijakan yang akan masuk dalam RUU Pajak atas Barang dan Jasa ini menjadi sorotan media nasional.
Urgensi adanya RUU yang akan menjadi revisi dari UU PPN ini adalah untuk meningkatkan tingkat kepatuhan PPN di Indonesia serta memperluas tax base yang pada gilirannya dapat mengerek penerimaan PPN.
“Perluasan tax base pengenaan pajak konsumsi tersebut dilakukan melalui penataan ulang perlakuan pajak atas barang dan jasa yang lebih membatasi pemberian fasilitas dan pengaturan ulang batasan pengusaha kena pajak,” demikian bunyi bagian urgensi RUU tersebut dalam Renstra Kemenkeu 2020-2024 yang dimuat dalam PMK 77/2020.
Selain mengenai revisi UU PPN, ada pula pembahasan tentang masih rendahnya pemanfaatan insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP). Hingga 20 Juni 2020, realisasi insentif ini baru mencapai Rp660 miliar atau 2,57% dari total estimasi alokasi senilai Rp25,66 triliun.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Terkait dengan rencana pembatasan pemberian fasilitas PPN dan pengaturan ulang batasan PKP, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama masih enggan berkomentar.
“Untuk PPh dan PPN, PIC-nya BKF, nanti mereka yang akan menjelaskan,” kata Yoga. Simak artikel ‘Simak artikel ‘Rancangan Revisi UU PPh dan UU PPN Jadi Tanggung Jawab BKF’. (Bisnis Indonesia)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat batasan threshold PKP senilai Rp4,8 miliar memang memberikan perlindungan bagi pengusaha kecil dari kewajiban administrasi pajak. Namun, di sisi lain, kebijakan itu menimbulkan tantangan dalam optimalisasi PPN.
Dia juga mengatakan pembatasan fasilitas PPN memang perlu dipertimbangkan, terutama untuk mengurangi tax gap karena kebijakan (policy gap) di sektor PPN. Namun, perlu diperhatikan juga pembatasan itu menyasar pada barang atau jasa yang tidak kena pajak – yang mencakup kebutuhan pokok – atau fasilitas pembebasan atau PPN tidak dipungut.
“Inilah yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah karena tiap barang atau jasa tersebut bisa saja berdampak bagi hajat hidup orang banyak,” jelasnya. (Bisnis Indonesia)
World Bank, dalam publikasi berjudul “Public Expenditure Review: Spending for Better Results”, juga mengungkapkan belanja perpajakan (tax expenditure) akibat pengecualian dari pengenaan PPN atas komoditas tertentu dan tingginya threshold PKP lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas ketimbang masyarakat kelas bawah.
Pasalnya, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan PPN di Indonesia pada saat ini mencapai 0,67% dari PDB. Apabila pemerintah menghapuskan pengecualian atas komoditas tertentu ini, World Bank memperkirakan ada tambahan penerimaan pada kas negara hingga 0,24%-0,67% PDB. Simak artikel ‘Pengecualian PPN Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Ini Saran World Bank’. (DDTCNews)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan urgensi pembahasan RUU Pajak atas Barang dan Jasa, RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), serta RUU PPh sangat tinggi. Reformasi pajak harus bersifat komprehensif untuk menjawab tantangan masa depan.
“Revisi UU perlu diselesaikan. Banyak hal untuk mencapai tujuan itu belum ada di Omnibus Law Perpajakan,” ujarnya. Simak artikel ‘Revisi Paket UU Perpajakan Masuk Renstra 2020-2024, Ini Penjelasannya’. (Bisnis Indonesia)
Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemanfaatan insentif untuk karyawan masih belum optimal karena masih banyak pemberi kerja yang belum lapor dan mengajukan insentif PPh Pasal 21 DTP.
“DJP sudah mengingatkan agar pemberi kerja melapor. Kami terus menyosialisasikan program ini secara masif kepada wajib pajak,” katanya. Simak artikel ‘Agar Pajak Gaji Karyawan Bisa Ditanggung Pemerintah, Ini Imbauan DJP’. (Kontan)
Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro dalam opininya di Bisnis Indonesia berjudul “Jurus Baru Insentif Pajak” mengatakan ada enam hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah untuk menjamin keberhasilan insentif pajak, baik dari sisi serapan maupun efektivitas.
Pertama, pemahaman dalam masa krisis, turunnya penerimaan secara temporer dalam masa krisis masih lebih baik daripada kehilangan basis pajak secara permanen. Kedua, desain insentif pajak yang lebih efektif dan tepat guna.
Ketiga, kemudahan pemanfaatan implementasi. Keempat, sosialisasi. Kelima, akuntabilitas. Keenam, adanya peta jalan relaksasi pajak selama lima tahun mendatang. Perkembangan ekonomi yang bergerak cepat jelas membutuhkan ruang untuk terobosan lanjutan. (Bisnis Indonesia)
Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan pembuatan aplikasi pelaporan insentif diskon angsuran PPh Pasal 25 akan siap dalam beberapa waktu ke depan. Aplikasi akan siap digunakan sebelum batas akhir penyampaian laporan pada 20 Juli 2020.
“Iya [untuk aplikasi] insyaallah siap [sebelum 20 Juli 2020],” katanya. Simak artikel ‘Aplikasi Pelaporan Insentif PPh Pasal 25 Belum Tersedia, Ini Kata DJP’. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.