Partner of Fiscal Research & Advisory B.Bawono Kristiaji dalam Webinar Series DDTC: Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah daerah (pemda) perlu menyusun strategi yang jitu untuk menyukseskan pembenahan sistem pajak daerah yang diusung UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Partner of Fiscal Research & Advisory B.Bawono Kristiaji menyampaikan pemda perlu memastikan penganggaran penerimaan pajak daerah dilakukan dengan memperhatikan kondisi makroekonomi terkini. Tak cuma itu, analisis potensi pajak dan retribusi daerah juga perlu menjadi ihwal yang perlu diperhatikan oleh pemda dalam menetapkan target penerimaan pajak. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 102 ayat (1) UU HKPD.
Bawono menerangkan kondisi makroekonomi daerah meliputi banyak aspek. Aspek itu di antaranya struktur ekonomi daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi, hingga daya saing daerah.
Aspek tersebut, sambung Bawono, selanjutnya perlu diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan makroekonomi dalam APBN. Artinya, pemda sedari awal perlu memperhatikan kerangka fiskal Indonesia untuk tahun yang akan datang serta karakteristik daerah dalam proses penganggaran.
“Jadi ada berbagai faktor yang perlu dilihat. Menariknya, faktor-faktor tersebut secara tidak langsung akan mencoba mengaitkan antara kebutuhan self-financing daerah dengan target ke depan. Misalnya, untuk mengentaskan kemiskinan apakah perlu insentif pajak atau pengecualian tertentu,” jelas Bawono, dalam Webinar Series DDTC: Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD, Rabu (30/3/2022).
Terkait dengan potensi pajak, Bawono menyampaikan hasil analisis DDTC FRA menunjukkan pertumbuhan realisasi penerimaan pajak biasanya lebih tinggi ketimbang pertumbuhan targetnya. Artinya, secara rata-rata realisasi target penerimaan pajak di banyak daerah mampu melampaui 100%.
Hal ini berbanding terbalik dengan kinerja penerimaan pajak oleh pemerintah pusat, dengan realisasi penerimaan yang lebih lambat ketimbang pertumbuhan targetnya. Namun, berdasarkan studi DDTC FRA tersebut diketahui ada indikasi daerah masih memiliki tax effort yang rendah.
“Dengan adanya Pasal 102 UU HKPD ini pada dasarnya pemda didorong untuk lebih menekankan aspek technicalities dalam artian melihat potensi pajak dan retribusi secara lebih sahih serta lebih evidence-based,” jelas Bawono.
Bawono lantas menerangkan cara untuk mengukur potensi pajak. Menurutnya, berdasarkan international bench-marking, potensi pajak dapat diukur dengan analisis potensi pajak yang belum berhasil digali (tax gap).
“Menariknya pajak daerah merupakan jenis pajak berbasis aset dan konsumsi, sehingga relatif lebih mudah dipetakan. Jadi, saran saya adalah bagaimana agar pemda di kemudian hari sudah melakukan analisis tersebut dan itu nanti masuk dalam proses penganggaran setiap tahunnya,” terang Bawono.
Lebih lanjut, Bawono berujar UU HKPD memberikan sinyal bahwa pemda bisa memberikan insentif dalam kondisi tertentu. Bawono menyebut, selain meramu insentif pajak yang sesuai, mekanisme pertanggungjawaban pemberian insentif juga perlu diperhatikan.
Dalam kesempatan tersebut, Bawono juga menjabarkan tantangan terkait dengan desain sistem, insentif, serta administrasi pajak daerah. Bawono kemudian menutup pemaparannya dengan menggunakan timeline dan agenda pajak daerah ke depan setelah diimplementasikannya UU HKPD. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.