Senior Researcher DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah memaparkan materi dalam acara workshop Taxlogy, Sabtu (14/11/2020).
JAKARTA, DDTCNews – Stimulus, termasuk dalam bentuk insentif pajak, masih diperlukan untuk menggerakkan roda perekonomian pascakrisis akibat pandemi Covid-19. Namun, kebijakan pajak yang dihasilkan harus memperhatikan kondisi yang sedang terjadi.
Senior Researcher DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah mengatakan respons kebijakan pajak terhadap pandemi Covid-19 setidaknya terbagi ke dalam 3 fase yang berbeda. Ada pergeseran orientasi kebijakan pada setiap fasenya secara bertahap.
“Penting bagi kita untuk mulai mencermati fenomena perubahan orientasi insentif pajak di berbagai negara. Insentif pajak yang awalnya berorientasi pada likuiditas mulai bergeser pada pertumbuhan ekonomi pada masa depan,” ujar Awwaliatul dalam acara workshop Taxlogy, Sabtu (14/11/2020).
Dalam acara bertajuk Dampak Covid-19 Terhadap Perpajakan Indonesia : Kondisi Perpajakan Ditengah Pandemi Covid-19 yang digelar Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia ini, Awwaliatul memaparkan 3 fase yang dimaksud.
Pertama, fase disrupsi ekonomi. Dalam fase ini, otoritas pajak berupaya membantu penjagaan likuiditas wajib pajak melalui fasilitas penangguhan pembayaran pajak, percepatan restitusi, hingga pemberian fasilitas kompensasi kerugian. Kebijakan ini umumnya muncul saat terjadi shock.
Kedua, fase pemulihan awal (initial recovery). Pada fase ini, otoritas pajak melakukan restrukturisasi sistem perpajakan sembari melanjutkan penjagaan likuiditas wajib pajak pada fase pertama.Dia mengatakan fase ini sering disebut fase yang rumit (tricky).
Pasalnya, pada fase kedua, kenaikan pajak harus bertahap dan masuk akal agar tidak menghambat perekonomian dan menyebabkan penolakan dari wajib pajak. Pada fase ini, insentif fiskal sebaiknya berkaitan dengan upaya mendorong konsumsi masyarakat.
Ketiga, fase pascapandemi atau disebut fase resilient recovery (maintenance for longer term). Insentif pajak, pada fase ini, lebih ditujukan untuk mendorong aktivitas investasi, pembiayaan/pendanaan, serta penyerapan tenaga kerja.
“Pada fase ini, hubungan saling percaya antara wajib pajak dan otoritas pajak yang disokong dengan pemberian insentif yang adil pada masa pandemi memiliki peranan penting,” imbuh Awwaliatul.
Apabila kepercayaan antara wajib pajak dan otoritas pajak terbangun dengan baik, fase ketiga pada masa pascapandemi bisa menjadi momentum peningkatan tarif dan perluasan basis pajak. Kondisi ini dikeranakan adanya dukungan dari wajib pajak.
Pemahaman atas ketiga fase ini menjadi krusial untuk meracik kebijakan pajak. Apalagi, belajar dari kondisi pascakrisis 2008, terdapat dorongan bagi setiap negara untuk meningkatkan investasi, penyerapan tenaga kerja, dan upaya memperbaiki ekonomi.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan memperbaiki daya saing (competitiveness). Instrumen pajak, termasuk insentif kerap diikutsertakan. Tidak mengherankan jika selama satu dekade terakhir, kompetisi pajak makin intens.
Kompetisi itu mulai dari pemberian variasi insentif pajak, seperti tax holiday, insentif litbang, rezim ekspatriat, perubahan sistem pajak dari (predominantly) worldwide menjadi semiteritorial, serta tren penurunan tarif PPh badan.
“Pascakrisis covid-19, bukan tidak mungkin fenomena setiap negara berlomba-lomba untuk mendorong daya saing melalui instrumen pajak akan terus dilakukan,” kata Awwaliatul. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Ketiga fase tersebut ditujukan untuk pemulihan ekonomi, namun terkait perluasan basis pajak yang perlu membutuhkan dukungan wajib pajak, perlu dibangun public trust agar hal tersebut dapat tercapai karena perpajak menjadi indikator ke sekian dari keseimbangan ekonomi