Ilustrasi.
THE world of tax is changing. Bagi orang yang sering mengikuti perkembangan dunia perpajakan, subjek surat elektronik (surel) yang diterima DDTCNews dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) itu tentu sudah dirasakan, terutama sejak terjadinya pandemi Covid-19.
Benar saja, OECD ingin menyampaikan secara singkat kondisi sistem perpajakan abad ke-21. Organisasi yang berkantor pusat di Paris itu mengatakan pandemi, krisis energi, digitalisasi, dan globalisasi telah mendorong perubahan signifikan dalam administrasi perpajakan akhir-akhir ini.
Salah satu perubahannya terkait dengan percepatan transformasi digital. Dalam publikasi bertajuk Tax Administration 2022, OECD menyajikan data komparatif tentang tren global dalam administrasi pajak di 58 negara maju dan berkembang yang mewakili sekitar 90% produk domestik bruto (PDB) dunia.
Dalam publikasi itu disajikan pula data International Survey on Revenue Administration (ISORA) pada 2020 dan 2021 yang menunjukkan adanya penurunan kunjungan wajib pajak secara langsung (tatap muka) sekitar 55% dan peningkatan interaksi digital sekitar 30%.
Perpajakan juga makin terlihat mengambil peran penting dalam menstimulus perekonomian, terutama dalam masa krisis. Pada sistem perpajakan abad ke-21 juga terlihat makin pentingnya kerja sama multilateral atau global, terutama dalam memerangi base erosion and profit shifting (BEPS).
Tentu saja perubahan masih terus berlangsung. Dinamika dunia perpajakan itu makin penting untuk dicermati ketika menaruhnya dalam konteks outlook perekonomian, terutama pada tahun depan. Terlebih, banyak pihak telah menyatakan sumber risiko perekonomian ke depan mulai bergeser.
Meskipun dampak pandemi masih ada, sumber risiko bergeser pada ketidakpastian akibat ketegangan geopolitik antarnegara dan disrupsi rantai pasok. Pengetatan kebijakan moneter sebagai respons atas tingginya inflasi juga menurunkan prospek ekonomi. Risiko resesi di berbagai negara meningkat.
Managing Director International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva menyatakan prospek ekonomi global justru makin gelap. Hampir sebagian besar ekonom awalnya berpikir pemulihan ekonomi akan berlanjut dan inflasi mereda. Ternyata tidak terjadi.
“Berbagai guncangan, di antaranya perang yang tidak masuk akal, mengubah gambaran ekonomi sepenuhnya. Jauh dari kesan sementara, inflasi menjadi lebih persisten. Ketidakpastian tetap sangat tinggi dalam konteks perang dan pandemi,” ujarnya di Georgetown University, Oktober 2022.
IMF merekomendasikan kebijakan moneter tetap pada jalur pemulihan stabilitas, sedangkan kebijakan fiskal fokus pada pengurangan beban biaya hidup sambil tetap ketat. IMF pun memproyeksi ekonomi global akan melambat dari 6,0% pada 2021 menjadi 3,2% pada 2022 dan 2,7% pada 2023.
Gambaran situasi perekonomian ke depan menjadi bekal penting untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi secara langsung terhadap fiskal. Terlebih, masih berdasarkan pada data ISORA, ada penurunan penerimaan pajak pada masa pandemi Covid-19.
INDONESIA tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konstelasi perekonomian global. Apalagi, Indonesia juga sempat mengalami penurunan penerimaan pajak pada 2020—saat resesi—, yakni sekitar 19,55%. Pada waktu itu, pajak memang digunakan lebih banyak untuk memitigasi dampak pandemi.
Penurunan itu cukup dalam sebelum akhirnya kembali pulih pada 2021. Selain ada faktor technical rebound, mulai naiknya harga komoditas turut berpengaruh. Pada tahun ini, kinerja penerimaan pajak juga cukup moncer. Selain faktor harga komoditas, ada pula Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Selain PPS, ada beberapa kebijakan lain dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang turut menambah penerimaan. Kebijakan yang dimaksud seperti penyesuaian tarif PPN, pemungutan pajak fintech, serta pengenaan pajak transaksi aset kripto.
Hingga Oktober 2022, penerimaan pajak senilai Rp1.448,2 triliun atau 97,5% dari target Perpres 98/2022 senilai Rp1.485 triliun. Otoritas bahkan sempat mengatakan realisasi hingga awal Desember 2022 sudah melebihi target tersebut. Adapun outlook yang dipatok senilai Rp1.608,1 triliun.
Bagaimana dengan tahun depan? Sesuai dengan APBN 2023, penerimaan pajak ditargetkan senilai Rp1.718 triliun. Jika dibandingkan dengan outlook tahun ini senilai Rp1.608,1 triliun, target dalam APBN 2023 hanya tumbuh 6,83%.
Dengan patokan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% dan inflasi 3,6% dalam APBN 2023, target penerimaan pajak itu terlihat moderat. Dalam wawancara khusus dengan DDTCNews, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengamini hal tersebut.
Dia mengatakan pemerintah melihat ada optimisme dari mulai pulihnya perekonomian. Hal ini ditunjukkan dengan mobilitas masyarakat. Namun, pemerintah tetap menaruh kewaspadaan, terutama terkait dengan ketidakpastian ekonomi global.
Apalagi, mulai tahun depan, pemerintah juga sudah harus kembali menjalankan disiplin fiskal dengan patokan defisit anggaran maksimal 3% terhadap PDB. Adapun dalam APBN 2023, defisit anggaran dipatok sebesar 2,8% terhadap PDB.
“Kewaspadaannya kita taruh dengan sangat hati-hati, termasuk di angka-angka kebijakan fiskalnya. Angka APBN yang kita setel supaya [defisit] tahun depan kita kembali ke bawah 3%. Kemudian, angka-angka target penerimaannya relatively sangat moderat pertumbuhannya,” jelas Suahasil.
Adapun salah satu sumber kewaspadaan adalah penurunan harga komoditas. Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia US$90 per barel, dalam Perpres 130/2022, pendapatan PPh migas pada 2023 ditargetkan senilai Rp61,4 triliun. Nilai ini turun dibandingkan target 2022 senilai Rp64,6 triliun.
Sesuai dengan keterangan resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF), pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan akan tumbuh relatif moderat yang didorong peningkatan aktivitas ekonomi, keberlanjutan reformasi perpajakan, implementasi UU HPP, serta penegakan hukum.
BKF menyatakan pada 2023 pemerintah memperkirakan windfall profit yang diperoleh dari kenaikan harga komoditas tidak setinggi tahun ini. Hal ini sejalan dengan penurunan harga komoditas. Selain itu, terdapat penerimaan pajak yang tidak berulang pada 2023 seperti penerimaan dari PPS.
BKF menyebut kebijakan penerimaan perpajakan 2023 diarahkan untuk optimalisasi pendapatan negara yang mendukung transformasi ekonomi dan upaya pemulihan ekonomi pascapandemi. Oleh karena itu, pemerintah akan memastikan implementasi reformasi perpajakan berjalan dengan efektif untuk penguatan konsolidasi fiskal.
Di sisi lain, optimalisasi pendapatan akan dilakukan melalui reformasi perpajakan yang difokuskan pada perbaikan sistem perpajakan agar lebih sehat dan adil. Hal itu dilakukan melalui penggalian potensi, perluasan basis perpajakan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan melalui inovasi layanan.
Kinerja penerimaan pada 2023 akan dihadapkan setidaknya oleh 2 tantangan utama, yakni normalisasi harga komoditas dan tambahan penerimaan pajak yang tidak berulang.
DIRJEN Pajak Suryo Utomo mengatakan reformasi perpajakan masih terus berlangsung. Kendati demikian, dia memastikan setiap pekerjaan yang dijalankan otoritas tidak mungkin lepas dari penerimaan. Hal ini juga berlaku saat masa transisi implementasi coretax system.
“Misalnya kita mengubah pola pemeriksaan dan pengawasan. Kita menjalani [sistem] baru. Yang bagus kita taruh di coretax. Saya inginnya saat coretax berjalan, kita sudah siap dan berubah,” ujar Suryo dalam wawancara eksklusif dengan DDTCNews.
Tahun depan, agenda pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) itu juga diproyeksi cukup menyibukkan Ditjen Pajak (DJP). Setelah rampung tahap desain dan pengembangan, pada saat ini, DJP mulai melakukan pengujian, baik modul system integration maupun user acceptance.
Kemudian, ada proses uji coba yang paling lambat dilakukan pada Oktober 2023. Adapun mulai 1 Januari 2024, coretax system ditargetkan telah dapat diimplementasikan seluruhnya. Sebelum dirilis untuk wajib pajak, pada Oktober 2023 DJP akan mulai menggunakannya secara internal.
Selain pembaruan coretax system, agenda lain yang juga akan cukup menyita perhatian pada 2023 adalah implementasi UU HPP. Hingga saat ini, pemerintah sudah menerbitkan sejumlah aturan turunan UU HPP, terutama menyangkut KUP dan PPN.
Meskipun beberapa aturan turunan UU HPP masih belum terbit, Suryo menjamin akan ada skema transisi yang tidak memberatkan wajib pajak. “Jadi tidak usah khawatir. Kami paham betul. Norma itu yang kami pegang. Kalau diimplementasikan di masa tertentu, tidak akan memberatkan masyarakat.”
Terkait dengan coretax dan UU HPP, pada 2023 juga menjadi transisi sebelum implementasi penuh penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi mulai 2024.
Selain itu, ada persiapan implementasi pajak karbon dan penambahan barang kena cukai (BKC) baru. Terkait implementasi keduanya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah tinggal melihat situasi terkini karena sejatinya sudah ada kewenangan di undang-undang.
“[Untuk] pajak karbon sudah diberi wewenang oleh undang-undang, tapi dia tidak berdiri sendiri. Dia bagian dari ekosistem itu semua. Pajak karbon menjadi alternatif untuk memenuhi net zero emission di tingkat sektor atau perusahaannya,” kata Suahasil.
Agenda lain yang tidak kalah menyita perhatian pada 2023 adalah implementasi UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Terlebih, ada kewajiban penyesuaian peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah sebelum 5 Januari 2024.
Kemudian, kembali lagi pada bahasan di awal, perkembangan dalam tataran global juga perlu dicermati. Pemerintah perlu mengantisipasi perkembangan pencapaian kesepakatan solusi 2 pilar OECD/G-20, termasuk dampak adanya pajak minimum global terhadap rezim pemberian insentif pajak
Selain itu, antisipasi juga diperlukan terhadap perkembangan ketegangan geopolitik. Hal ini berpotensi memengaruhi arah kerja sama internasional pada perpajakan. Terlebih, dunia pernah menghadapi situasi kuatnya proteksionisme dalam negosiasi ekonomi antarnegara.
Tim Ahli Kebijakan Pajak Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) sekaligus Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji berbagai agenda terkait dengan pajak itu juga akan turut memengaruhi upaya optimalisasi penerimaan pada 2023.
“Tantangannya lebih terhadap implementasi UU HPP, misalkan pajak natura dan fasilitas PPN. Ini sebenarnya yang akan menghiasi ruang diskusi kita pada 2023," ujar Bawono.
Kembali mengutip surel dari OECD yang dibahas di depan, dunia pajak sedang berubah. Perubahan ini terjadi tengah ketidakpastian ekonomi. Tentu saja, pemerintah harus bergegas. Wajib pajak juga harus selalu mencermati dinamika yang terjadi sehingga dapat mengantisipasi perubahan dengan baik. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.