SENYUM lebar dan kerut sumringah tergambar jelas di wajah Soeharto saat turun dari Jeep putih abu-abunya. Mengekor di belakang, puluhan anak-anak Irian Barat bersorak dengan lembaran Merah Putih mini tergenggam kencang. Dinginnya Tembagapura di ketinggian nyaris 2 kilometer di atas permukaan laut tak menyurutkan keriaan mereka menyambut kedatangan orang nomor satu di Indonesia saat itu.
Sabtu, 3 Maret 1973, Indonesia mencatatkan sejarah. Presiden Soeharto meresmikan dimulainya penambangan tembaga dan emas di Ertsberg oleh Freeport Sulphur of Delaware di Tanah Papua. Produksi ribuan ton bijih tembaga langsung dikebut, setelah izin atas investasi diperoleh perusahaan asal Amerika Serikat itu pada 1967.
Berbeda dengan orde lama, pemerintahan orde baru memilih terbuka terhadap aliran modal asing. Hanya berselang beberapa bulan setelah diangkat menjadi presiden, Soeharto dan parlemen mengesahkan Undang-Undang (UU) 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Di dalam beleid tersebut, untuk pertama kalinya Indonesia memberikan skema insentif pajak, berupa pengurangan dan pembebasan pajak, alias tax holiday. Kelonggaran berlaku untuk bidang usaha tertentu, termasuk pertambangan. Karpet merah digelar panjang untuk melenggangkan investasi asing.
Saat itu, Freeport memperoleh pembebasan pajak selama 3 tahun setelah dimulainya produksi. Untuk 7 tahun berikutnya, perusahaan penanaman modal asing ini hanya dikenakan pajak sebesar 35%.
Nyaris 50 tahun berselang, melompat ke masa kini, Freeport masih beroperasi di Papua. Perubahan-perubahan dan penyesuaian ketentuan investasi tentu saja sudah terjadi. Termasuk, keringanan-keringanan pajak yang dulu sempat diterima, kini tak lagi berlaku. Namun, kebijakan insentif pajak yang diberikan 5 dekade silam bisa dibilang menjadi modal awal keberlangsungan investasi Freeport hingga saat ini.
Insentif Pajak Menunjang Daya Saing
Strategi pemberian insentif pajak demi mendorong daya saing perekonomian sudah dijalankan pemerintah Indonesia selama puluhan tahun. Apa yang didapat Freeport di atas menggambarkan betapa derasnya guyuran kemudahan dan keringanan yang selama ini diberikan oleh pemerintah kepada pemodal, khususnya dari aspek pajak.
Di usia kemerdekaan yang baru di angka 20-an tahun, saat itu Indonesia butuh dukungan swasta untuk mem-boost ekonominya. Di situlah insentif usaha berperan sebagai kanal aliran modal. Insentif memuluskan pendirian usaha-usaha baru dan memutar roda perekonomian Tanah Air.
Tak cuma Indonesia sebenarnya. Banyak negara-negara lain, khususnya negara berkembang, yang juga mengandalkan pemberian insentif pajak untuk menarik investasi. Ketika aspek penunjang lain belum optimal, seperti infrastruktur hingga ketersediaan SDM yang belum memadai, maka insentif pajak menjadi resep penunjang nilai tawar.
Bagaimanapun, negara perlu modal untuk melakukan pembangunan. Sumber pendanaan ini, salah satunya, bisa diperoleh dari luar negeri dalam bentuk investasi asing. Judit Gergely, ekonom asal Hungaria, menjabarkan ada beberapa bentuk insentif yang bisa diberikan pemerintah untuk menarik investasi, yakni insentif fiskal seperti insentif pajak, insentif keuangan seperti subsidi, atau insentif jenis lain seperti proteksi pasar.
Dalam perjalanannya sebagai negara berkembang, Indonesia telah cukup banyak menawarkan insentif fiskal untuk menaikkan daya saing dan mengalirkan lebih banyak modal asing ke dalam negeri.
Cerita manis tentang korelasi insentif pajak dengan laju perekonomian sebuah negara bisa dilihat di banyak negara. China misalnya, yang tidak memiliki aliran investasi asing sama sekali sebelum 1979. Saat itu, infrastruktur China belum semapan sekarang. Kebijakan perekonomian juga belum seterbuka saat ini.
Namun, reformasi perpajakan yang dijalankan pemerintahan China pada 1980 mengubah situasi. Insentif pajak digelontorkan dengan cukup deras sehingga membuat China menjadi salah satu negara penerima investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) terbesar di dunia (Li, Jinyan, 2008).
Atau, tengok lah Singapura sebagai negara tetangga. Sejak memerdekakan diri pada medio 1960-an, Singapura cukup gesit menyusun kebijakan reformasi perpajakannya. Insentif pajak menjadi salah satu instrumen penarik investasi yang disiapkan.
Menariknya, Singapura membagi prioritas ekonominya antara satu dekade ke dekade berikutnya (Wong, Khattar, 2000). Hal ini turut memengaruhi jenis-jenis insentif pajak yang diberikan. Pada 1960-an, selepas merdeka, Singapura fokus pada pembangunan infrastruktur dasar dan kinerja ekspor.
Beralih di akhir 1960-an, insentif kemudian diperluas untuk diberikan kepada industri pionir. Tujuannya, menambah lapangan kerja. Kemudian, pada 1970-an, pemerintah Singapura mulai menggeser prioritasnya untuk mempromosikan perdagangan internasional dan perluasan sektor jasa. Insentif juga kencang diberikan kepada industri bernilai tambah tinggi. Singapura pun mulai mantap meninggalkan industri manufaktur yang lebih tradisional.
Atau, bergeser ke tetangga lainnya, yakni Malaysia. Insentif pajak berhasil membantu Malaysia menjadi kiblat perekonomian syariah dunia (Mukarromah, bisnis.com, 2019). Malaysia terbilang totalitas dalam membangun ekosistem keuangan syariahnya dengan menggeber pemberian insentif pajak, seperti tax holiday untuk bank syariah dan cabangnya, keringanan di pasar modal, dan pembebasan withholding tax atas transaksi perbankan tertentu.
Selain Malaysia, beberapa negara lain juga cukup agresif seperti Australia, Irlandia, Prancis, dan Luksemburg. Negara-negara nonmuslim ini justru sangat berupaya menarik investasi keuangan baru melalui sistem syariah, apalagi industri ini diprediksi terus tumbuh dan menguat.
Dalam praktik empiris di Indonesia, pemerintah telah memberikan beragam jenis insentif. Tujuannya tentu saja untuk menstimulus perekonomian. Meskipun insentif pajak bukan menjadi faktor utama yang menentukan keputusan investasi, keberadaanya tetap meningkatkan portofolio bagi investor.
Kembali kepada konteks peningkatan daya saing, insentif pajak yang berkorelasi dengan profit usaha memiliki peran terbesar. Sejak dibukanya keran investasi asing pada 1967, pemerintah bisa dibilang sangat baik hati menawarkan macam-macam paket insentif pajak. Beragam keringanan pajak seperti tax holiday, tax allowance, supertax deduction, atau wujud insentif lainnya sudah diberikan.
Mengacu pada Laporan Belanja Perpajakan 2021, insentif yang diberikan dengan tujuan meningkatkan daya saing sebenarnya sangat beragam. Mulai dari tax holiday untuk industri pionir khusus, tax holiday untuk kawasan ekonomi khusus, hingga tax holiday untuk kawasan industri.
Kemudian, ada juga tax allowance untuk penanaman modal bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu, tax allowance untuk KEK, tax allowance kawasan industri, fasilitas perpajakan di kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), fasilitas untuk kegiatan pemanfaatan sumber energi terbarukan, investment allowance untuk industri padat karya tertentu, supertax deduction untuk kegiatan vokasi industri, hingga supertax deduction untuk penelitian dan pengembangan.
Ada juga pengurangan 50% tarif PPh bagi wajib pajak badan, penurunan tarif PPh bagi perseroan terbuka, hingga beragam fasilitas PPh lainnya, termasuk PPh ditanggung pemerintah serta insentif berdasarkan kelaziman internasional.
Kendati bentuk insentif yang disiapkan sangat beragam, menu utamanya tetap lah tax holiday dan tax allowance. Keduanya merupakan bentuk insentif yang sudah cukup lama diberikan oleh pemerintah, meski implementasinya mengalami pasang surut selama ini.
Ambil contoh tax holiday, yang sempat dibuka-tutup keran penyalurannya. Di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tax holiday sempat dihapus lagi melalui penerbitan PP 148/2000. Baru pada 2007, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rezim tax holiday kembali dihidupkan melalui pengesahan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Bergegas Mendesain Ulang Insentif Pajak
Di samping fakta empiris yang menunjukkan bahwa insentif pajak ampuh menggerakkan perekonomian nasional, pemerintah tampaknya perlu mengemas lagi kebijakan ini. Penyesuaian perlu dilakukan untuk memastikan kembali bahwa insentif yang diberikan sesuai dengan peruntukannya.
Tahun ini barangkali menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi efektivitas insentif pajak dan mendesain ulang skema-skema penyalurannya.
Jika melihat laporan belanja perpajakan 2021, porsi insentif pajak yang digelontorkan untuk tujuan peningkatan iklim investasi merupakan yang paling sedikit dibandingkan dengan insentif-insentif untuk tujuan kebijakan lainnya.
Realisasi belanja perpajakan untuk meningkatkan iklim investasi tercatat 'hanya' Rp31,6 triliun. Angka ini jauh di bawah capaian belanja perpajakan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yakni Rp160 triliun. Belanja perpajakan untuk pengembangan UMKM juga masih lebih tinggi, yakni Rp69 triliun.
Berdasarkan catatan pemerintah, pemanfaatan insentif pajak berupa tax holiday dan tax allowance juga perlu dioptimalkan. Pada 2020, insentif tax holiday hanya dimanfaatkan oleh 2 wajib pajak dengan nilai pemanfaatan Rp814,51 miliar. Sementara insentif tax allowance dimanfaatkan oleh 46 wajib pajak dengan nilai Rp9,83 triliun.
Tentang masih rendahnya pemanfaatan tax holiday, pemerintah mengamininya. Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian Gunawan Pribadi menyampaikan pada awal dirilis pada 2011, peminat insentif tax holiday memang sepi. Karenanya, Gunawan menilai, evaluasi terhadap penyaluran insentif pajak memang perlu dilakukan secara berkala. Sasaran perbaikannya mencakup sektor usaha penerima, prosedur penyaluran, atau kemudahan administratif.
Sejak 2011 hingga 2020, tercatat pemerintah telah melakukan revisi aturan tax holiday sebanyak 4 kali, melalui PMK 159/2015, PMK 35/2018, PMK 150/2018, dan PMK 130/2020. Gunawan mengatakan, beberapa revisi pengaturan insentif pajak ini terbukti cukup ampuh membuat lebih banyak pelaku usaha memanfaatkan tax holiday. Per November 2022, pemerintah telah menerbitkan persetujuan insentif tax holiday kepada 19 wajib pajak dengan nilai rencana investasi sebesar Rp146,4 triliun.
Namun, di sisi lain, pemerintah perlu menimbang kajian yang sempat dilakukan World Bank pada 2001 dalam buku yang disusun para penelitinya, berjudul Using Tax Incentive to Compete for Foreign Investment: Are They Worth the Cost?
Buku ini memberi pesan bahwa pemberian insentif pajak selama ini tidak cukup berhasil menarik investasi di Indonesia. Hal tersebut tercermin pada tidak adanya perbedaan yang signifikan dari realisasi investasi asing baik ketika disediakan insentif atau tidak.
Fenomena serupa juga terjadi di negara lain. Pengalaman empiris menununjukkan pemberian insentif pajak tidak membuahkan realisasi investasi yang signifikan. Bahkan, insentif pajak bukan menjadi poin penting yang dipertimbangkan investor dalam menentukan lokasi investasi.
World Bank sendiri menyodorkan gagasan kepada negara-negara berkembang untuk mengevaluasi pemberian insentif pajaknya secara menyeluruh. Strategi pemberian insentif pajak dirasa perlu mempertimbangkan kebijakan yang berlaku pada negara asal investasi.
Menariknya, berbagai literatur menyebutkan insentif pajak dapat berdampak signifikan bagi investasi apabila faktor-faktor determinan lainnya seperti stabilitas politik, ekonomi, serta infrastruktur berada pada level yang cenderung serupa di berbagai wilayah. Sederhananya begini, jika ekonomi dan politik stabil serta infrastruktur sudah memadai, investor akan lebih mempertimbangkan insentif pajak dalam keputusan investasinya.
Laporan World Bank pada 2018 juga menyimpulkan hal yang sama. World Bank mengingatkan bahwa insentif pajak bukan menjadi pemikat utama investasi. Paket insentif pajak merupakan baham pertimbangan nomor sekian bagi investor dalam mengambil keputusan investasi. Faktor pertimbangan paling atas tetap lah stabilitas politik, kepastian hukum, atau kondisi pasar domestik.
Gunawan menjelaskan faktor penentu investasi dibedakan antara tax factors dan non-tax factors. Tax factors antara lain mencakup tarif pajak, insentif pajak, serta sistem hukum dan administrasi perpajakan. Adapun non-tax factors antara lain mencakup ukuran pasar, ketersediaan bahan baku, infrastruktur, tenaga kerja, stabilitas ekonomi, dan stabilitas politik.
Dari 2 faktor penentu investasi itu, ujar Gunawan, kebanyakan pelaku usaha tertarik dengan besarnya potensi pasar di Indonesia. Setelah itu, mereka akan mencari lokasi yang menunjang proses bisnis mereka. Faktor perpajakan masih menjadi bahan pertimbangan tambahan setelah pertimbangan-pertimbangan utama tadi dipandang layak.
"Meski demikian, kami berpandangan bahwa insentif-insentif pajak turut mempermanis upaya-upaya pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan daya tarik investasi Indonesia. Artinya, insentif pajak masih punya peranan cukup penting dalam menarik investasi," kata Gunawan.
Berdasarkan kondisi tersebut, artinya pemerintah bukan hanya punya pekerjaan rumah untuk mendesain insentif pajak yang lebih menarik, tetapi juga berkewajiban memperbaiki aspek-aspek nonpajak yang menjadi penentu investor dalam menanamkan modalnya.
Desain ulang insentif pajak juga sangat relevan dengan kepentingan pemerintah dalam mengebut pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Mau tak mau, pemerintah perlu menggaet swasta agar proyek superjumbo ini bisa berjalan dengan baik.
Pemerintah sendiri berencana menyalurkan sejumlah insentif pajak bagi investor yang menanmkan modalnya di IKN. Insentif pajak yang disiapkan antara lain insentif tax holiday atas penanaman modal, tax holiday atas relokasi kantor, supertax deduction atas kegiatan-kegiatan tertentu, ketentuan kepabeanan dan cukai khusus, ketentuan perpajakan khusus untuk pusat keuangan (financial center), dan ketentuan PPN khusus.
Desakan dari Pajak Minimum Global
Kebutuhan untuk mendesain ulang insentif pajak tidak semata-mata dilatari praktik empiris secara domestik selama ini. Jika melihat ke depan, desakan mendesain ulang insentif pajak juga muncul karena adanya rencana implementasi pajak minimum global (global minimum tax) yang tertuang dalam solusi 2 pilar.
Sesuai jadwal, global minimum tax bakal berlaku secara common approach pada 2023.
Secara sederhana, penerapan pajak minimum global bertujuan mencegah kompetisi pajak. Nantinya, investor akan dikenakan tarif pajak efektif minimum sebesar 15% di yurisdiksi mana pun investasi dilakukan.
Artinya, meskipun sebuah negara memberikan insentif pajak, atas penghematan pajak yang diperoleh akan tetap dipajaki di negara asal investor. Situasi ini praktis menggerus daya tarik insentif pajak, termasuk tax holiday dan tax allowance. Karenanya, perlu disusun sebuah desain pemberian insentif pajak yang tidak menyalahi konsensus pajak global.
Partner of Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji menilai Indonesia perlu mengikuti arus diskusi terkait implementasi pajak minimum global. Alasannya, belakangan muncul penolakan dan diskusi akademis terkait dengan dampak pajak minimum global bagi daya saing negara berkembang.
"Kita juga perlu perhatikan bahwa skenario pajak minimum global pada dasarnya sedikit bergeser dari kerangka Proyek BEPS yang awalnya ditujukan untuk melawan harmful tax practice yang kerap dilakukan oleh negara tax haven melalui tarif pajak rendah untuk menarik artificial economic activity," ujar Bawono.
Artinya, imbuh Bawono, insentif pajak seperti tax holiday yang tujuan utamanya adalah menarik real economic activity semestinya masih bisa diberikan. Perlu dipahami kembali, tujuan awal Proyek BEPS adalah melawan harmful tax competition yang berujung pada munculnya negara-negara tax haven.
Pemerintah juga punya pandangan sama dengan Bawono. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memandang kesepakatan terkait dengan pajak minimum global bakal memengaruhi arah kebijakan insentif pajak di berbagai negara.
Suahasil mengatakan pemerintah masih mengamati respons negara lain terhadap kesepakatan pajak minimum global. Namun, ia menegaskan pemerintah siap melakukan berbagai penyesuaian ketika pajak minimum global disepakati.
"Pada saat berlaku sesuai dengan kesepakatan internasional, global minimum tax mesti siap kami terapkan di Indonesia. Kami comparing terus dengan beberapa negara lain dan menyiapkan legislasinya," katanya.
Suahasil menuturkan kesepakatan pajak minimum global dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) diperlukan untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil. Harapannya, persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau race to the bottom juga dapat dihilangkan.
Dia menjelaskan race to the bottom dalam tataran konseptual dipahami sebagai sesuatu yang tidak baik karena bakal melemahkan penerimaan negara. Jika mobilisasi sumber daya domestik melemah, kemampuan negara untuk melaksanakan berbagai agenda pembangunan juga terhambat.
Namun, pemberian insentif pajak juga bukan merupakan sesuatu yang harus disetop. Menurutnya, insentif masih perlu diberikan dengan tetap menjaga aspek keadilan.
Dari aspek hukum, pemerintah memang sudah ancang-ancang melakukan penyesuaian terhadap pemberian insentif pajak. Sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) 25/2022, tahun ini pemerintah juga segera menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait dengan tax allowance dan tax holiday. Pada RPP tersebut, pemerintah akan menyelaraskan ketentuan pengajuan fasilitas dengan perkembangan OSS serta menyempurnakan syarat pengajuan fasilitas dan proses pemberian tax allowance serta tax holiday.
Masih dalam momentum evaluasi dan mendesain ulang insentif pajak, pemerintah perlu menghitung efektivitas insentif pajak jika negara investor menerapkan metode kredit pajak sebagai metode dalam ketentuan keringanan pajak berganda dalam tax treaty antara negara penerima investasi dengan negara investor.
Penerapan metode kredit pajak oleh negara investor dapat membatalkan insentif pajak yang diberikan oleh negara penerima investasi karena negara investor akan memberikan kredit pajak kepada investor sepanjang memang ada pajak yang dibayar secara aktual di negara penerima investasi.
Guna menghindari kondisi tersebut, banyak tax treaty yang akhirnya menambahkan klausul tentang tax sparing sebagai salah satu metode keringanan pajak berganda dalam tax treaty atau P3B. Dengan memasukkan klausul tax sparing dalam P3B, negara investor harus memberikan kredit pajak atas pajak yang secara aktual tidak dibayar di negara tujuan investasi karena mendapat fasilitas insentif pajak di negara tujuan investasi.
Mengejar Daya Saing
Pada akhirnya, pemberian insentif pajak harus bisa memberikan perbaikan daya saing sebagai bangsa. Daya saing ini muaranya bercabang: merebut investasi, menggaet sumber daya manusia yang unggul, hingga penguasaan sumber daya alam. Semuanya bisa didorong melalui kebijakan pajak, terutama pemberian insentif pajak.
Dengan begitu, pemerintah Indonesia perlu menggambar ulang peta daya saingnya. Jika menyangkut ekonomi secara keseluruhan, paket insentif pajak perlu didesain agar semua cabang daya saing tadi bisa digapai sekaligus.
Namun, mengejar daya saing tak boleh serampangan. Dalam artikel jurnal berjudul Competitiveness: A Dangerous Obsession (Krugman, 1994), pemerintah di berbagai yurisdiksi diingatkan bahwa daya saing bisa menjadi gagasan yang berbahaya. Penulis yang juga peraih Nobel bidang ekonomi tersebut menilai daya saing antarnegara bisa menimbulkan biaya yang tidak murah dan justru mengarah kepada proteksionisme.
Jadi, tidak heran apabila diskusi soal insentif pajak tak akan selesai-selesai. Kebutuhannya bisa berubah-ubah seiring dengan dinamika ekonomi. Yang pasti, pemerintah perlu memastikan pemberian insentif pajak memberikan manfaat yang lebih banyak ketimbang biaya yang dikorbankan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.