ARAH kebijakan pemerintah dalam mendorong daya saing menarik untuk diulas. Spektrumnya pun luas. Tak terbatas pada cara-cara untuk menarik aliran modal, tetapi juga strategi dalam menggaet sumber daya manusia (SDM) yang unggul ataupun kapasitasnya dalam bersaing di pasar global.
Dari beragam jurus yang sudah dijajal, kebijakan pajak sepertinya masih menjadi andalan untuk mendongkrak daya tawar bangsa di kancah global. Salah satunya, pemberian insentif pajak. Mengacu pada tujuannya dalam menggenjot daya saing, insentif-insentif pajak yang terlibat tentunya lebih banyak bersangkutan dengan profit.
Selama ini pemerintah cukup baik hati menawarkan macam-macam paket insentif pajak. Guna menarik investasi misalnya, pengusaha diberi 'iming-iming' keringanan pajak seperti tax holiday, tax allowance, supertax deduction, atau wujud insentif lainnya.
Tak cuma itu, akses pemanfaatan insentif pajak makin mudah. Pandemi Covid-19 ikut memicu pemerintah memangkas alur prosedural bagi pengusaha untuk bisa menikmati keringanan pajak.
Namun, ada catatan yang perlu menjadi perhatian. Kendati langkahnya sudah menuju arah yang tepat, pemerintah perlu sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Kebijakan insentif pajak perlu dilihat kembali apakah peruntukannya memang sudah tepat, atau justru selama ini hanya menjadi pemanis semata?
Jika melihat laporan belanja perpajakan 2021, porsi insentif pajak yang digelontorkan untuk tujuan peningkatan iklim investasi merupakan yang paling sedikit dibandingkan dengan insentif-insentif untuk tujuan kebijakan lainnya.
Realisasi belanja perpajakan untuk meningkatkan iklim investasi tercatat 'hanya' Rp31,6 triliun. Angka ini jauh di bawah capaian belanja perpajakan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yakni Rp160 triliun. Belanja perpajakan untuk pengembangan UMKM juga masih lebih tinggi, yakni Rp69 triliun.
Rendahnya realisasi belanja perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi perlu dibedah lebih dalam. Di satu sisi, hal ini bisa dimaklumi lantaran sasarannya memang spesifik. Di sisi lainnya, perlu dilihat kembali apakah peminatnya memang sedikit? Apakah prosedurnya masih memberatkan pelaku usaha? Atau cakupannya terlalu sempit?
Momentum evaluasi insentif pajak juga makin terlihat nyata di depan mata seiring dengan masa-masa kedaruratan pandemi yang telah lewat. Pemulihan ekonomi yang kian cepat menuntut banyak negara mereformulasi bentuk-bentuk insentifnya. Tujuannya, agar momentum pemulihan ekonomi tidak terlewat sedikitpun.
Dengan lesatan daya saing antarnegara yang tak terbendung, Indonesia tak boleh lengah. Periode pascapandemi menawarkan momentum yang pas untuk menyaring kembali efektivitas pemberian insentif pajak.
Belum berhenti sampai di situ, masih ada satu lagi alasan yang menuntut pemerintah harus lebih cekatan dalam mendesain ulang skema insentif pajak. 2023 bakal menjadi tahun pertama implementasi pajak minimum global (global minimum tax). Ketentuan ini merupakan respons atas tantangan perpajakan yang timbul dari digitalisasi ekonomi.
Penerapan pajak minimum global mengharuskan induk dari perusahaan multinasional membayarkan pajak tambahan atas anak usahanya dikenakan tarif efektif kurang dari 15% di sebuah yurisdiksi.
Dengan begitu, insentif-insentif pajak yang berbasis profit seperti tax holiday dan tax allowance berpeluang kehilangan daya tariknya.
Kita semua memahami, konsensus pajak global dirundingkan untuk menutup celah penghindaran pajak. Pada akhirnya, implementasi pajak minimum global pun ingin menghadirkan keadilan bagi seluruh yurisdiksi.
Namun, perlu disadari pula bahwa Indonesia tidak boleh kehilangan daya tawarnya. Sebagai negara yang memiliki kedaulatan fiskal, Indonesia perlu merancang alternatif insentif pajak yang tidak menyalahi semangat keadilan yang sudah diusung konsensus pajak global.
Sinyal baiknya sudah ada. Pemerintah Indonesia sudah menegaskan komitmennya melakukan berbagai penyesuaian ketika pajak minimum global disepakati.
Tak cuma itu, tahun ini pemerintah juga segera menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait dengan tax allowance dan tax holiday. Pada RPP tersebut, pemerintah akan menyelaraskan ketentuan pengajuan fasilitas dengan perkembangan OSS serta menyempurnakan syarat pengajuan fasilitas dan proses pemberian tax allowance serta tax holiday.
Untuk mengupas lebih dalam tentang kesiapan pemerintah dalam menghadapi beragam tantangan pajak ke depan, fokus edisi kali ini mengambil tema Momentum Evaluasi Skema Insentif Pajak. Fokus kali ini masih menjadi bagian dari Fokus Akhir Tahun bertajuk Bergegas di Tengah Perubahan Dunia Pajak.
Sebagai informasi kembali, dalam Fokus Akhir Tahun kali ini, DDTCNews membagi topik ke dalam beberapa edisi yang akan terbit 2 kali seminggu (Selasa dan Kamis).
DDTCNews juga akan menyajikan hasil wawancara dengan berbagai narasumber yang kredibel memberikan penjelasan kepada publik. Jangan sampai melewatkan tiap edisinya! Selamat membaca! (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.