Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha dengan peredaran bruto dalam satu tahun mencapai Rp4,8 miliar atau lebih wajib menyelenggarakan pembukuan sebagai metode pelaporan surat pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Apabila sudah mencapai angka tersebut, penyelenggaraan pembukuan wajib dilakukan pada tahun pajak berikutnya.
“Jika peredaran bruto pada suatu tahun pajak sudah melebihi Rp4,8 miliar maka untuk tahun pajak berikutnya sudah wajib menggunakan pembukuan,” tulis Kring Pajak, dikutip pada Senin (4/11/2024).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 54/2021, pembukuan merupakan suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data serta informasi keuangan. Informasi tersebut meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa.
Proses pengumpulan data tersebut harus ditutup dengan penyusunan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Penyelenggaraan pembukuan di Indonesia wajib dilakukan sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain.
Artinya, apabila terdapat perbedaan di dalam akuntansi dan perpajakan, harus terlebih dahulu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi diperlukan agar terjadi sinkronisasi antar entitas pelaporan dalam hal pengakuan, pengukuran, pencatatan, serta penyajian hak dan kewajiban yang timbul dari suatu transaksi.
Sesuai Pasal 9 ayat (2) PMK 54/2021, pembukuan harus diselenggarakan dengan, pertama, memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
Kedua, menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia. Ketiga, harus dilakukan secara konsisten dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
Taat asas artinya prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah pergeseran laba atau rugi. Prinsip tersebut dapat berupa stelsel pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan, serta metode penyusutan dan amortisasi.
Wajib pajak yang ingin mengubah prinsip dalam metode pembukuan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DJP (Pasal 9 ayat (6) PMK 54/2021). (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.