Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Irlandia bersama Republik Ceko, Finlandia, dan Swedia menentang rencana pajak digital Uni Eropa.
Melansir The Irish Times, Irlandia telah menggencarkan kampanyenya untuk melawan proposal pajak digital itu melalui joint submission dengan tiga negara lain. Mereka memperingatkan proposal akan melanggar kewajiban perjanjian internasional.
Pajak layanan digital (digital services tax/DST) – yang diusulkan dan diharapkan ada persetujuan pada Desember 2018 – akan menciptakan masalah perpajakan ganda. Hal ini akan melanggar perjanjian perpajakan bilateral antara negara-negara anggota dan negara-negara ketiga.
Beberapa perusahaan digital besar juga telah menilai proposal tersebut akan berisiko memunculkan pengenaan pajak dua kali pada pendapatan yang sama. Rencananya, permasalahan ini akan dibahas pada 26 Oktober 2018 pada pertemuan ahli.
Keempat negara berpendapat DST akan melanggar standar dalam OECD Inclusive Framework on BEPS yang disepakati oleh lebih dari 115 negara dan yurisdiksi. Standar ini ada dalam pelaksanaan paket OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Dalam joint submission tersebut, mereka mengingatkan potensi jauhnya konsekuensi politik, ekonomi, dan hukum dari pajak yang dikenalkan di tingkat Uni Eropa. Dengan demikian, penerapan proposal menjadi tidak sejalan dengan perjanjian pajak.
“Ini adalah pandangan kami bahwa diskusi diperlukan pada kesesuaian DST dengan kewajiban internasional, terutama perjanjian pajak negara anggota dengan negara ketiga,” ujar mereka dalam joint submission, seperti dikutip pada Senin (8/10/2018).
Seperti diketahui, Irlandia tetap menjadi salah satu dari sedikit negara yang secara tegas menentang pajak digital. DST menjadi usulan langkah sementara menjelang proposal tingkat OECD yang diharapkan ada pada musim semi.
Irlandia berpendapat langkah-langkah yang hanya dilakukan oleh Uni Eropa akan merusak daya saing Eropa. Selain itu, langkah ini berisiko memperparah ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat pada saat yang sulit.
Adapun proposal pajak digital yang diterbitkan pada Maret lalu, meliputi pajak sementara 3% atas pendapatan kotor atau omzet. Ini akan berlaku untuk perusahaan dengan total pendapatan tahunan di seluruh dunia senilai €750 juta (sekitar Rp13,16 triliun) atau lebih, dan memiliki pendapatan kena pajak tahunan sebesar €50 juta (sekitar Rp877,6 miliar) setiap tahun.
Pajak akan diterapkan pada pendapatan yang dihasilkan dari iklan user-targeted, transmisi dari data yang dikumpulkan, serta jejaring sosial yang dapat mengarah pada pasokan barang atau jasa.
Untuk menghindari pengenaan pajak berganda pada pendapatan yang sama, akan ada penetapan alokasi hak pemajakan antara dua negara dalam perjanjian bilateral. Perjanjian ini menetapkan aturan tempat pemajakan ‘where to tax’ atau jumlah pendapatan perusahaan yang dialokasikan ke suatu negara.
Komisi mengklaim pajak digital tidak melanggar perjanjian pajak ganda dengan negara-negara ketiga atau aturan WTO. Perusahaan, menurut Komisi, akan dapat memotong pajak sebagai biaya dari basis pajak perusahaan sehingga mengurangi risiko pengenaan pajak berganda.
Kebijakan ini dinilai akan memberikan beberapa kenyamanan bagi perusahaan, tetapi tidak bagi negara anggota yang berperan sebagai rumah perusahaan-perusahaan digital tersebut. Negara-negara ini akan melihat adanya pengurangan pajak terhadap laba yang dipulangkan.
Jika komisi gagal mendapatkan arahan pajak digital, banyak negara telah menegaskan adanya langkah-langkah sepihak (unilateral) untuk mengumpulkan uang dari kegiatan perusahaan di wilayah mereka. Komisi memperingatkan langkah ini akan memunculkan risiko kerumitan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.