Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/2024 turut memperbarui ketentuan pemotongan PPh Pasal 26 atas premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Merujuk pada Pasal 241 ayat (1) PMK 81/2024, pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
“PPh Pasal 26 atas penghasilan sebagaimaan diamksud dalam pasal 241 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut,” bunyi Pasal 243 ayat (1) PMK 81/2024, dikutip pada Senin (18/11/2024).
Terdapat ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menentukan besaran perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pasal 241 ayat (1). Pertama, atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar.
Kedua, atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar.
Ketiga, atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.
Lebih lanjut, pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan oleh: tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf a PMK 81/2024.
Sementara itu, pemotongan PPh Pasa 26 dilakukan oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf b PMK 81/2024.
Kemudian, pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf c PMK 81/2024.
Sejalan dengan itu, pemotong pajak wajib memotong dan membuat bukti pemotongan PPh Pasal 26. Selanjutnya, pemotong pajak tersebut menyampaikan bukti pemotongan PPh 26 kepada pihak yang dipotong.
Pemotong pajak juga wajib menyetor pajak PPh Pasal 26 paling lama 15 hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi yang disamakan dengan (SSP).
Pemotong pajak juga wajib melaporkan PPh Pasal 26 kepada dirjen pajak paling lama 20 hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
Pemotong pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 243 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) PMK 81/2024 dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.