Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat Suparno. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Filosofinya dalam menjalankan tugas adalah mau mengerjakan tugas dengan militansi yang kuat. Aspek tersebut selalu menjadi pegangan dalam menjalankan tugas di manapun.
Kini, tantangan kembali muncul saat ia dilantik menjadi Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak (DJP) Jakarta Barat, setelah sebelumnya memimpin Kanwil DJP Jawa Tengah I dan Kanwil DJP Nusa Tenggara.
Namun, filosofinya dalam menjalankan tugas tetap dipegang. Untuk menggali lebih jauh tentang tantangan tersebut, beberapa waktu lalu DDTCNews mewawancarai Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat Suparno. Kutipannya:
Bagaimana Anda melakukan konsolidasi internal di Kanwil DJP Jakarta Barat?
Konsolidasi awal tentunya kita kenalan. Walaupun saya seorang kakanwil, perjalanan karier saya kan belum pernah di Jakarta. Separuh lebih kepala kantor di sini [KPP Pratama dan Madya] saya kenal. Lebih tepatnya, hampir semua kepala kantor itu saya kenal.
Konsolidasi awal saya tentunya bagaimana melakukan mapping kinerja selama 2020. Kemudian melihat klasifikasi lapangan usaha yang dominan, payment compliance dari wajib pajak di sini, serta keteraturan wajib pajak bayar. Kemudian, saya melihat kejujuran wajib pajak bayar.
Nah, dari situlah kami menganalisis. Hasilnya, Kanwil DJP Jakarta Barat itu punya potensi dari sisi wajib pajak yang bayar dan wajib pajak yang belum bayar. Kalau wajib pajak yang belum bayar, kami harus awasi dengan mengubah perilaku dia. Dengan itu, pastilah tax base kita bertumbuh.
Lalu, bagaimana terhadap wajib pajak yang sudah bayar?
Untuk yang sudah bayar itu critical point-nya ada dua. Pertama, payment of compliance dan keteraturan membayar. Kedua, aspek kejujuran wajib pajak. Jadi, dalam database [Kanwil] Jakarta Barat itu diperlihatkan jumlah wajib pajak terdaftar 1.094.000. Kemudian, wajib pajak efektif itu 524.000.
Kemudian, dari data itu kan terlihat mengapa wajib pajak nonefektifnya banyak. Hal itu karena kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kemudian, kemarin ada insentif perpajakan yang mewajibkan bagi yang menerima itu harus ber-NPWP.
Oleh karena itu, walaupun secara persyaratan subjektif dan objektif tidak memenuhi tapi dia [wajib pajak] dikukuhkan dulu. Nanti-nanti, kalau yang bersangkutan itu sudah gede, ya kami tidak melakukan kegiatan dari awal.
Secara statistik, kebijakan PEN itu menjadikan wajib pajak normal [menjadi] kurang dari 50%. Nah, wajib pajak normal di Jakarta Barat yang [berjumlah] 524.000, ternyata hanya kira-kira 20%-nya yang bayar atau sekitar 104.000 wajib pajak.
Lalu dari 104.000 wajib pajak itu, belum tentu keteraturan bayarnya penuh 12 bulan. Kemudian, belum tentu wajib pajak tersebut membayar pajak sesuai dengan kegiatan usaha sebenarnya. Inilah konsolidasi awal saya terkait bagaimana nanti memimpin Jakarta Barat.
Jadi, potensi penerimaan di Kanwil DJP Jakarta Barat masih sangat besar…
Jadi, yang teratur bayar hanya 1 bulan itu 34% dari wajib pajak efektif kami. Sementara itu, negara kita butuh konsistensi bayar pajak 12 bulan. Angka yang konsisten bayar pajak 12 bulan di Jakarta Barat itu hanya 26%.
Data itu artinya pasti orang pajak sudah tahu bahwa seluruh aparatur sipil negara (ASN) yang ada di Jakarta Barat moncong meriamnya untuk mengubah keteraturan itu menuju ke arah yang 12 bulan tadi. Jadi, proses bisnisnya gampang, toh dengan kita menunjukkan data itu.
Kemudian, bagaimana dengan strength of figure atau kejujuran wajib pajak bayar. Dari pengalaman saya di Nusa Tenggara dan di Jawa Tengah, masih ada wajib pajak yang bayar Rp5.000-an. Saya pikir di Jakarta Barat enggak ada yang kelompok itu. Nah, ternyata ada juga di sini.
Data kami [menunjukkan] ada 956 wajib pajak yang kisaran lapisan pembayaran pajak Rp1 sampai Rp5.000. Nah, yang seperti ini kami sasar dengan pelaksanaan tugas dan fungsi (tusi) DJP. Tusi DJP itu ya tidak lain [adalah] mengawasi.
Kalau pengawasan dilakukan dengan benar maka wajib pajak merasa terawasi. Pastilah tingkat kejujurannya atau strength of figure-nya akan naik. Dengan strength of figure-nya naik, tax base akan naik dari sisi keteraturan dan kejujuran bayar.
Apa saja sektor usaha yang dominan terhadap penerimaan di Kanwil DJP Jakarta Barat? Dari wajib pajak mana penerimaan itu?
Perdagangan besar mencapai 51%. Sehabis itu, ada industri pengolahan dan konstruksi.
Untuk wajib pajak itu nanti melihatnya per jenis pajak. Jadi, untuk dominannya dari penerimaan PPN dalam negeri dan PPN Impor. Untuk penerimaan badan itu cuma 6% dan wajib pajak orang pribadinya cuma 5%.
Jadi, yang relatif menjadi tusi DJP sebenarnya PPh Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi dan badan, di sini sumbangan ke penerimaan cuma 11%. Sementara itu, sisa lainnya dari withholding tax. PPh Pasal 21 sumbang 13%.
Jadi, dari data ini, andalan kami sekitar 75% andalan penerimaan yang harus ditemukan dari pot/put. Dominasi dari PPN sejalan dengan kontributor penerimaan berdasarkan sektor usaha perdagangan besar.
Bagaimana kinerja tahun lalu?
Sisi payment of compliance dan strength of figure itu bertumpu pada dua kegiatan. Pertama, wajib pajak strategis. Untuk kelompok ini nanti akan dibentuk KPP Madya Jakarta Barat II. Jadi, hitung-hitungan awal tax base ada 81% di KPP Madya I dan Madya II. Itu semua wajib pajak strategis.
Nah, diluar itu, nanti masih ada 9 KPP Pratama. Pada 9 KPP Pratama itu juga ada wajib pajak strategisnya. Katakanlah itu ada 500-an wajib pajak setiap KPP.
Jadi, basis wajib pajak strategis yang ada di KPP Madya dan ditambah wajib pajak strategis yang ada di KPP Pratama itu kira-kira pegang peranan ke penerimaan sekitar 90%. Kedua, sisanya yang 10% dari penguasaan wilayah.
Apakah pengawasan berbasis kewilayahan sudah mulai berjalan?
Sudah. Jadi, Kanwil DJP Jakarta Barat sudah bisa mendeteksi sebaran wajib pajak per wilayah. Misalnya, Kelurahan Kebon Jeruk itu ada 31 ribu wajib pajak. yang bayar 2.900. Artinya, 10% yang bayar. Dengan data keteraturan membayar pajak ini kan masih bisa kami tingkatkan ke depan.
Jadi, untuk data satu wilayah, bisa dilihat belum stabil. Kemudian, pengawasan pembayaran berbasis masa untuk wajib pajak di wilayah itu juga akan kita terapkan. Karena itu sudah menjadi inisiatif strategis dari DJP. [Kanwil DJP] Jakarta Barat, sebagai unit operasional, akan melaksanakan itu.
Nanti, aktivitasnya juga akan kami ukur. Seluruh aktivitas wajib pajak yang ada di Kebon Jeruk nanti pada 2021 seperti apa. Kita lihat dengan data yang sudah tersedia di database. Kami evaluasi setiap saat sehingga dari penguasaan wilayah ini akan muncul tax base yang baru.
Apa tantangan yang akan dihadapi?
Kalau untuk itu, [bagi] saya, tantangan untuk seluruh ASN di Indonesia itu dalam ijazahnya harus [memiliki filosofi] 'Mau'. Apalagi, tahun kemarin, realisasi penerimaan di Kanwil DJP Jakarta Barat [sebesar] 93% dari target. Itu kalau tidak ada pandemi, pasti tercapai.
Kemudian, tidak semua sektor usaha pada masa pandemi terdampak negatif. Ada juga wajib pajak yang sebenarnya terdampak positif masih berlindung di bawah pandemi. Itu yang belum kami optimalkan.
Jadi, kami harus turun ke lapangan. Maksud saya harus punya Ijazah 'Mau' itu seluruh komponen terkait bisa meningkatkan kinerja. Sudah saya sampaikan pada bulan pertama saya menjabat di [Kanwil DJP] Jakarta Barat.
Dengan modal database kepada seluruh KPP yang saya kelilingi [pada] 2 minggu pertama [menjabat], [saya minta] agar [KPP] bisa melakukan penguasaan wilayah dari sinyal-sinyal ekonomi yang [sudah] diperoleh datanya dari media elektronik.
Kehadiran DJP [melalui pengawasan berbasis kewilayahan] untuk meyakinkan sinyal ekonomi tersebut itu sudah dipenuhi kewajiban perpajakannya. Itu satu-satunya jalan dengan penguasaan wilayah berbasis peta geospasial.
Berapa target penerimaan pajak Kanwil DJP Jakarta Barat?
Secara nominal itu Rp45,1 triliun. Ini target sementara karena nanti reorganisasi. [Dengan] agenda itu, ada wajib pajak kami yang pindah. Kemudian, ada wajib pajak lain yang masuk ke kami. Nah, target itu nanti dihitung lagi. Jadi, sementara Rp45,1 triliun. Itu tumbuh 17,5% dari realisasi 2020.
Target naik double digit, seberapa optimistis untuk mengamankan penerimaan tahun ini?
Sebetulnya kalau optimis, kita sangat optimistis dari sisi internal. Dengan konsolidasi awal yang saya lakukan kan sudah bisa menyampaikan informasi bahwa potensi jumlah wajib pajak yang bayar itu perlu ditingkatkan. Itu potensinya masih banyak yang belum bayar.
Kemudian, yang sudah bayar pun belum sepenuhnya teratur dan jujur. 2021 ini adalah tahun pemulihan ekonomi dengan vaksin yang sudah diberikan kepada rakyat. Pajak merupakan buah dari perekonomian. Kalau perekonomian pulih, maka penerimaan pajak akan ikut naik.
Pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi itu 5% sampai 5,5%. Itu juga pegang peranan bahwasanya akan ada pergerakan dari sisi kinerja penerimaan kita. Jadi, harus optimistis dari awal melihat potensi yang sebetulnya masih sangat banyak.
Dengan cara apa dicapai itu? Ya dengan cara 'Mau' itu tadi. Maka pimpinan di setiap jenjang jabatan menggelorakan ijazah 'Mau' dan militansi. Itu rumus sederhana.
Saya di manapun tempat bertugas, pakai itu ['Mau' dan militansi]. Di Nusa Tenggara saya pakai itu, di Jawa Tengah juga pakai itu karena hanya dengan itu, kami bisa memperoleh kinerja yang bagus.
Terminologi yang bagus itu kalau tax base jelas, pasti penerimaan tercapai. Kalau tax base-nya bersumber dari hal-hal yang sudah kita kuasai ya tentunya derajat keberhasilan kerja akan makin bagus. Pada akhirnya nanti bisa mencapai 100%.
Bagaimana kinerja penerimaan sejauh ini?
Untuk 3 bulan pertama, kami bisa indikasikan sebetulnya kinerja tidak terlalu jelek. Ini karena kalau satu tahun, angka kontraksi penerimaan hanya 1% per bulan. Jadi, jangan melihat negatif penerimaan masih kontraksi tapi perlu melihat juga pertumbuhan jumlah wajib pajak bayar.
Dari data Januari - Maret 2021 dengan pendekatan yang hanya terkontraksi 1% per bulan maka seharusnya pada April 2021 dan selanjutnya sudah memotong kontraksi penerimaan dengan jumlah wajib pajak bayar lebih tinggi dari bulan yang sama tahun lalu.
Dari grafik database posisi Maret 2021, jumlah wajib pajak bayar sudah lebih tinggi daripada Mei 2020. Kami melihat jumlah wajib pajak bayar pada Januari, Februari, Maret lebih tinggi dari tahun lalu saat ada pandemi.
Artinya, sudah mulai ada tanda pemulihan ekonomi dari jumlah wajib pajak bayar. Untuk nilai pembayaran, tentu menjadi suatu analisis yang berbeda. Kalau lihat dari sisi jumlah wajib pajak yang meningkat, maka artinya tax base akan meningkat dibandingkan tahun lalu.
Kalau nanti upaya penguasaan wilayah kita dan setelah launching KPP Madya II, kami lihat tren kontraksi penerimaan akan segera dipotong untuk mulai bisa tumbuh positif. Seberapa banyak bisa tumbuh, ya tentu minimal sesuai dengan target pertumbuhan penerimaan yang dua digit tadi.
Bagaimana mitigasi yang dilakukan terkait dengan dampak kebijakan relaksasi UU Cipta Kerja?
Ya tentu dalam kebijakan perpajakan, ada potential loss dan potential gain. Kalau potential loss terkait dengan penurunan tarif. Tahun lalu, realisasi penerimaan sudah dipengaruhi penurunan tarif. Ini karena hitung-hitungan angsuran PPh Pasal 25 badan sudah gunakan tarif 22%.
Potential loss itu memang karena regulasi untuk menjadi daya tarik investasi di Indonesia dan nanti multiplier effect-nya akan terjadi pertumbuhan ekonomi dari investasi tadi.
Kemudian, hal lain dari UU Cipta Kerja seperti berkurangnya subjek dan objek pajak, misalnya dividen kan untuk wajib pajak badan otomatis dan orang pribadi sepanjang itu untuk investasi kembali itu kan [tarif PPh-nya] 0%.
Lalu yang lain, subjek pajak yang 183 hari warga negara Indonesia di luar negeri dan kebiasaan hidup di sana. Dengan UU Cipta Kerja kan sudah bisa jadi subjek pajak luar negeri (SPLN). Nah, SPLN dari dalam negeri ini saya minta jajaran di Jakarta Barat untuk meningkatkan kualitas layanan.
Namun, ada hal lain yang masih bisa dimanfaatkan tentu dari regulasi NIK (nomor induk kependudukan). Ketentuan NIK itu akan berdampak sekali kepada penerimaan PPN karena selama ini faktur pajak 000 itu kan susah dideteksi.
Nantinya, dengan tambahan NIK maka mau enggak mau, suka tidak suka, akan tahu sebetulnya lini berikutnya setelah lini pabrikan [itu] distributor atau konsumen akhirnya.
Nah, yang sampai ke konsumen akhir ini yang akan kami kejar. Itupun masih ada fasilitas yang lain yaitu deemed pajak masukan. Selama ini kan berlindung pada ambang batas Rp4,8 miliar.
Dulu, kalau omzet ketahunan lebih dari Rp4,8 miliar setahun itu serta merta harus bayar PPN dan tidak bisa dikreditkan. Sekarang sudah ada fasilitas dari pemerintah untuk deemed pajak masukan.
Itulah nanti yang akan dimanfaatkan untuk memperluas basis pemajakan PPN dengan cara ekstensifikasi pengusaha kena pajak (PKP). Jadi, harus menambah jumlah PKP sebagai pemungutnya baru kita bisa bermimpi bagaimana penerimaan PPN ini akan bertumbuh.
Apakah ketentuan NIK dalam faktur pajak ini sangat berpengaruh di Kanwil DJP Jakarta Barat?
Iya, secara kan kontributor dominannya dari perdagangan dan ritel. Kemudian, ada juga potensi dari online market. Itu juga dilakukan dengan tujuan siapa pelaku di situ yang akan dijadikan penambahan tax base pada 2021 dengan basis PMSE.
Ada target berapa banyak penambahan PKP di Kanwil DJP Jakarta Barat?
Belum ada aturan dari kantor pusat untuk penambahan seberapa banyak harus nambah PKP. Namun, untuk Jakarta Barat, saya minta merujuk pada aturan yang lama sekali, yaitu tambahan PKP setiap tahun harus 12%.
Dulu itu ada aturan lama seperti itu, saat saya baru berkarier. Jadi, pertumbuhan PKP 12% dari data faktur pajak, dari peningkatan omzet lebih dari Rp4,8 miliar.
Bagaimana upaya penegakan hukum yang akan dilakukan tahun ini?
Sebetulnya upaya penegakan hukum dimulai dari tidak patuhnya wajib pajak dalam menyampaikan SPT. Penegakan hukum dimulai dari beberapa layer layanan. Layanan pertama surat teguran.
Kemudian, dengan Pasal 35A UU KUP, DJP banyak memperoleh data dari berbagai sumber plus data AEoI, keterbukaan kerahasiaan perbankan untuk tujuan perpajakan, [yang] per 31 Desember, rekening di atas Rp1 miliar harus dilaporkan.
Data seperti itu yang akan dimanfaatkan untuk layering penegakan hukum. Kami mulai dari layanan yang paling halus seperti surat teguran. Kemudian, kirim SP2DK untuk klarifikasi karena kami sudah memiliki basis data sekarang untuk memenuhi ketentuan Pasal 12 UU KUP.
Kalau DJP memiliki data lain yang pemenuhan kewajiban perpajakannya belum dilakukan wajib pajak, DJP bisa menerbitkan SKP. Proses penerbitan SKP ya dimulai dari itu tadi yang cara paling halus. Kalau sampai SP2DK dipenuhi dan wajib pajak melakukan pembetulan ya mangga silakan.
Kalau ada eskalasi dan seterusnya kan dilakukan pemeriksaan. Pada saat itu, masih berikan hak kepada wajib pajak untuk melakukan pembetulan dengan menggunakan Pasal 8 ayat (4). Kalau ada indikasi tindak pidana nanti ada bukper sama di penyidikan.
Untuk wajib pajak yang relatif patuh dari sisi SP2DK juga sangat banyak. Tentunya kalau SP2DK makin banyak dipatuhi dan ada respons pembetulan dari wajib pajak, tentu yang diperiksa lebih sedikit.
Jumlah yang diprediksi jadi lebih sedikit nanti bermuara pada yang di-bukper juga makin sedikit. Artinya, kalau saat ini dari sisi Indikator Kinerja Utama (IKU) di Jakarta Barat terkait dengan bukper, penyidikan, dan pemeriksaan, itu semua bisa dicapai pada 2020.
Bagaimana potret kepatuhan wajib pajak?
Tahun lalu, sisi kepatuhan formal memang tidak mencapai 100% dari yang ditargetkan dengan realisasi kepatuhan 94% dari target IKU. Itu dari kacamata formal dan belum dari kacamata materiel.
Makanya, inisiatif strategis dari DJP sekarang ini difokuskan pada 3 hal. Pengawasan pembayaran dan pelaporan masa dan tahunan. Pengujian kepatuhan materiel. Kemudian, sumber baru penerimaan. Itu yang menjadi tumpuan pencapain kinerja 2021.
Sampai 1 April 2021, SPT Tahunan yang sudah masuk 290.145. Angkanya tumbuh dari 1 April 2020 itu ada 192.767 SPT Tahunan. Jadi, ada peningkatan sekitar 50% dengan disclaimer pada tahun lalu itu batas akhir penyampaian SPT PPh orang pribadi diperpanjang.
Adakah pesan khusus dari Dirjen Pajak dan Menkeu?
Alhamdulillah, saat saya pegang [Kanwil DJP] Jateng I tahun pertama itu leveling kinerja meningkat dari 82%-83% ke 88%. Kemudia, di tahun kedua, target tercapai dan pesan Pak Dirjen dan Bu Menteri teruskan pencapaian kerjamu yang terbaik di [Kanwil DJP] Jakarta Barat.
Artinya, mau tidak mau dan suka tidak suka, saya harus mencapai kinerja 100% di [Kanwil DJP] Jakarta Barat. Saya optimistis karena teman teman saya disini memiliki Ijazah 'Mau' dan memiliki militansi yang kuat.
Itu yang harus kami lakukan terus melalui dialog kinerja setiap saat untuk mengingatkan itu. Untuk mencapai 100% sebetulnya menjadi hal yang biasa karena di manapun ditugaskan kan target harus tercapai.
Target itu harus bernilai wow kalau pertumbuhan penerimaan bagus dan di atas target. Nah itu baru kita bisa mensyukuri hal yang sebenarnya. Makanya, konsolidasi awal tadi menjadi penting agar ada dialog dan mapping kinerja dari wajib pajak yang ada di Jakarta Barat.
Peningkatan jumlah wajib pajak bayar harus dibarengi dengan keteraturan bayar yang bagus dan wajib pajak yang makin sadar melakukan kewajiban perpajakan secara baik dan benar.
Karena dalam SPT tidak disebutkan maka saya ingatkan secara lisan dan terus-menerus, isilah SPT dengan lengkap benar dan jelas. Ditambah jujur karena itu akan membuat tax base meningkat. Dengan isi SPT ideal lengkap, jelas, benar, dan jujur, Indonesia jadi negara makmur. (Kaw/Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.