Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) sekaligus pengajar STHI Jentera Dian Rositawati (paling kanan).
JAKARTA, DDTCNews - Upaya mewujudkan peradilan yang independen dari kekuasaan mana pun tidak cukup hanya dengan membangun independensi secara institusi.
Ada bentuk 'kemandirian' lain yang harus ikut dibangun dalam mewujudkan peradilan yang sepenuhnya independen, yakni independensi secara internal, independensi personal, dan independensi substantif.
"Realitasnya, independensi institusionalnya membaik, tetapi muncul tantangan baru yakni independensi internal terhadap hakim-hakim atau institusi yang dibangun," ujar Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Dian Rositawati dalam diskusi publik bertajuk Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak yang digelar oleh STH Indonesia Jentera, dikutip pada Kamis (8/6/2023).
Pernyataan Dian di atas merupakan respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengalihkan pembinaan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung (MA).
Guna menciptakan peradilan yang independen secara institusional, salah satu cara yang seringkali ditempuh adalah dengan menetapkan sistem satu atap dengan menempatkan badan peradilan di bawah MA.
"Satu atap itu objective-nya menurut undang-undang adalah bebas dari intervensi pemerintah. Jadi dia bicara independensi level 1. Pada level institusional memang ada perbaikan," kata Dian.
Dengan demikian, penerapan sistem satu atap bukanlah satu-satunya solusi untuk menjawab masalah independensi peradilan. "Kalau pun ada transisi ke satu atap, ini bukan jawaban yang instan. Harus mekanisme-mekanisme untuk memastikan independensi yang lain terpenuhi," imbuh Dian.
Independensi institusional perlu didukung oleh independensi secara internal, yakni kemandirian kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada hakim dalam berhubungan dengan kolega dan atasannya ketika melaksanakan tugas yudisialnya.
"Independensi internal adalah independensi di dalam organisasi peradilan itu sendiri. Jadi kalau independensi institusional tercapai, belum tentu independensi internalnya tercapai," ujar Dian.
Selanjutnya, independensi institusional juga perlu didukung oleh independensi personal, yakni kemandirian hakim dalam memutus perkara.
Terpenting, independensi peradilan perlu didukung oleh independensi substantif, yakni independensi dari putusan itu sendiri.
Untuk diketahui, MK telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak harus dialihkan ke MA paling lambat pada 31 Desember 2026.
Berdasarkan putusan tersebut, MK menyatakan frasa 'Departemen Keuangan' pada Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi 'MA yang secara bertahap dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2026'.
Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak selengkapnya berbunyi 'Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026'.
Melalui putusan ini, Pengadilan Pajak secara resmi bakal mengadopsi sistem satu atap.
"Dengan demikian perlu dilakukan one roof system, terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak di mana pembinaan secara teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan MA, tanpa adanya campur tangan lembaga lain," bunyi Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.