Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menyiapkan insentif pajak untuk beberapa instrumen investasi untuk memperdalam pasar keuangan. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (1/3/2019).
Insentif ini akan diterapkan untuk instrumen investasi kolektif yang memiliki jangka waktu menengah lama. Instrumen itu antara lain mencakup infrastructure funds (DINFRA), Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA), dan Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT).
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan otoritas telah menyelesaikan pembahasan insentif pajak untuk investasi jangka panjang yang masuk dalam beberapa instrumen tersebut.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti lesunya pendapatan negara per Januari 2019. Pendapatan negara hanya mampu tumbuh 4,99%, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,37%. Salah satu aspek yang mempengaruhi kinerja tersebut adalah lesunya harga minyak.
Di sisi lain, pertumbuhan penerimaan pajak yang masih double digit untuk sektor manufaktur memberikan optimisme otoritas fiskal dalam pengamanan target penerimaan pada tahun ini.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofyanto Kurniawan mengatakan regulasi terkait dengan insentif pajak untuk instrumen investasi ini memang sedang dalam tahap finalisasi.
“Regulasi sedang diproses Kemenkumham,”
Ketua Asosiasi Manajer Investasi Indonesia (AMII) Edward Lubis mengaku tidak mengetahui rencana insentif tersebut. Namun demikian, dia berharap ada kabar baik dari pemerintah. Pasalnya, selama ini setiap instrumen investasi memiliki regulasi yang berbeda dengan tarif pajak yang berbeda pula.
“Kami berharap itu dapat menciptakan equal tax treatment untuk semua instrument investasi kolektif dan dapat menyederhanakan skema pajak seperti yang kami inginkan,” katanya
Turunnya kinerja pendapatan negara dipengaruhi anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagai efek dari turunnya harga minyak serta loyonya kinerja pajak pertambahan nilai (PPN). Kinerja PPN pun diperkirakan masih akan tertekan sampai Mei 2019 karena efek restitusi dipercepat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan adanya peningkatan restitusi hingga 40% dalam dua bukan terakhir menunjukkan adanya arus kas korporasi yang akan semakin baik. Meskipun demikian, hal itu berdampak pada tergerusnya penerimaan negara pada periode tersebut.
"Selaka 2 bulan kita sudah mendapat restitusi 40% dibanding tahun lalu. Artinya company cashflow-nya bagus," katanya.
Sri Mulyani optimistis penerimaan pajak pada 2019 akan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Optimisme ini muncul karena melihat realisasi pada tahun lalu, terutama dari sektor manufaktur.
"Pada 2017 naik 18% dan tahun lalu 11%. Agak lebih rendah, tapi tetap double digit dan masih di atas pertumbuhan ekonomi RI," tuturnya
Strategi frontloading yang diambil pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara (SBN) dinilai menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi dinamika yang terjadi di tingkat global. Per akhir Januari 2019, pemerintah telah merealisasikan penerbitan SBN neto senilai Rp 119,537 triliun. Nilai tersebut setara 30,73% dari total target dalam APBN 2019.
"Jadi artinya, penerbitan SBN kita lakukan sesuai dengan kebutuhan. Saya menerbitkan surat utang bukan karena hobi, tapi karena itu adalah amanat undang undang," ujarnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan suku bunga acuan memang sudah mencapai titik puncaknya pada saat ini. "Ke depan, arah suku bunga akan turun kalau memang stabilitas ini bisa kita jaga," katanya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.