KEBIJAKAN PAJAK

Insentif Pajak Jadi 'Penyelamat' Kala Pandemi, Evaluasi Diperlukan

Redaksi DDTCNews | Rabu, 24 November 2021 | 17:30 WIB
Insentif Pajak Jadi 'Penyelamat' Kala Pandemi, Evaluasi Diperlukan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Pemberian insentif pajak sudah jadi senjata pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu. Insentif pajak terbukti cukup membantu pelaku usaha bertahan dari lesunya ekonomi.

Tak cuma Indonesia, negara-negara lain di seluruh dunia juga menjadikan kebijakan perpajakan sebagai kerangka pemulihan ekonomi akibat pandemi. Namun, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan penyaluran insentif pajak selama nyaris 2 tahun terakhir ini memang berdampak optimal terhadap perekonomian.

Ketua Program Pascasarjana FEB Universitas Trunojoyo Madura, Yulianti Abbas, membenarkan kebijakan pajak dapat menjadi bantuan segera alias immediate relief untuk mengurangi tekanan ekonomi yang dirasakan pelaku usaha.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

"Negara di seluruh dunia berlomba-lomba untuk menerapkan kebijakan pajak yang dapat membantu ekonomi bangsa," ujar Yulianti dalam Simposium Nasional Perpajakan 8 Jurusan Akuntansi FEB Universitas Trunojoyo Madura, Rabu (24/11/2021).

Menurutnya, kebijakan pajak paling umum diambil oleh banyak negara adalah penundaan pembayaran pajak. Tujuannya, menjaga daya beli masyarakat dan likuiditas perusahaan. Kendati manfaatnya jelas terlihat, Yulianti menggarisbawahi perlunya evaluasi atas kebijakan ini.

Ada 3 aspek, ujar Yulianti, yang perlu dikritisi terkait penyaluran insentif pajak. Pertama, seberapa efektif kebijakan pajak dijalankan. Pemerintah perlu memastikan penyaluran insentif pajak sesuai dengan tujuan awalnya. Tak cuma itu, pemerintah juga perlu memastikan imbasnya signifikan terhadap ekonomi nasional.

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kedua, pemerintah perlu menghitung ulang korelasi penyaluran insentif pajak dengan imbasnya terhadap penurunan penerimaan. Yulianti mewanti-wanti adanya potensi penerimaan pajak di daerah.

Ketiga, pemerintah dinilai perlu mengkaji aksi dan reaksi atas kebijakan pajak penghasilan (PPh) badan. Menurutnya, PPh badan punya pengaruh besar terhadap keuangan perusahaan.

Merespons 3 aspek yang perlu jadi bahan pertimbangan pemerintah di atas, Yulianti menekankan pentingnya riset oleh kalangan akademisi. Menurutnya, riset menjadi tools yang membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan ke depan, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

"Dalam hal ini, riset berfungsi sebagai bahan evaluasi serta rujukan apabila fenomena serupa terjadi. Akademisi dapat membantu pemerintah untuk bersikap dan menyusun tindakan di masa kini dan depan," kata Yulianti.

Dalam acara ini, salah satu narasumber yakni Ustaz Farid Saenong, ikut menyampaikan kajian terkait pajak dari perspektif agama Islam. Kendati tidak dituliskan secara gamblang, ujarnya, implementasi pungutan pajak sudah terekam dalam ajaran agama.

"Ada ketentuan pajak dalam hukum agama," jelas Ustadz Farid Saenong.

Namun, pengaturan teknis terkait pelaksanaan di lapangan tetap menjadi wewenang pemerintah. Poin utama dari pernyataannya, ujar Ustaz Farid, adalah ada benang merah antara pungutan pajak dan syariat Islam selama digunakan untuk kepentingan umum. (tradiva sandriana/sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?