JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Jumat (26/1) kabar datang dari Ditjen Pajak yang menyatakan masih maraknya penggunaan faktur pajak fiktif meskipun sudah ada penerapan faktur pajak elektronik (e-faktur). Sistem elektronik tersebut ternyata masih memiliki sejumlah kelemahan.
Hal ini terbukti dari ditemukannya Sertifikat Elektronik dari 1.049 wajib pajak yang terindikasi merupakan penerbit faktur pajak tidak sah atau fiktif. Pada Rabu (24/1) kemarin Ditjen Pajak secara resmi telah menonaktifkan Sertifikat Elektronik dari 1.049 wajib pajak tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan pada tahun 2016-2017, jumlah kasus faktur pajak fiktif mencapai 525 kasus dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1,01 triliun.
Menurutnya, Ditjen Pajak akan terus mengejar para penerbit faktur pajak tidak sah melalui penetapan suspend dan penegakan hukum sehingga ruang gerak penerbit faktur pajak fiktif akan semakin sempit dan kerugian negara dapat diminimalisir.
Kabar lainnya masih seputar maraknya faktur pajak fiktif, di mana Ditjen Pajak akan melakukan serangkaian strategi mangatasi permasalahan tersebut. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Masih maraknya penggunaan faktur pajak fiktif membuat Ditjen Pajak menetapkan sejumlah cara untuk meminimalisir praktik ilegal tersebut. Salah satunya adalah dengan menonaktifkan Sertifikat Elektronik yang terindikasi penerbit faktur pajak fiktif. Penetapan suspend ini merupakan pelaksanaan Perdirjen Pajak No PER19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak. Ditjen Pajak memberikan waktu maksimal 30 hari kepada wajib pajak untuk memberikan klarifikasi.
Jika klarifikasi tidak disampaikan, maka wajib pajak tersebut tidak dapat lagi menerbitkan faktur pajak selamanya. Status suspend dapat dicabut jika klarifikasi wajib pajak memenuhi empat kriteria. Pertama, keabsahan identitas wajib pajak. Kedua, keberadaan serta kesesuaian atau kewajaran profil wajib pajak, pengurus atau penanggung jawab. Ketiga, keberadaan dan kewajaran lokasi usaha wajib pajak. Keempat, kesesuaian kegiatan usaha wajib pajak.
Setelah seluruh lembaga maupun instansi menyetujui rencana menjadikan plastik sebagai barang kena cukai (BKC) baru, Kementerian Keuangan segera mengajukan ke presiden terkait dengan penerbitan payung hukum dalam bentuk peraturan pemerintah. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Marisi Zainudin Sihotang mengatakan pengajuan surat tersebut menjadi kewenangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan nantinya setelah seluruh persiapan selesai tinggal pembicaraan final dengan DPR.
Dia berharap agar BKF segera melakukan permohonan tersebut. Pasalnya, cukai plastik juga sudah direncanakan dalam APBN. Selain plastik, ada beberapa kandidat BKC baru yang sedang dibahas oleh otoritas kepabeanan. Salah satunya yang segera didorong adalah cukai minuman berpemanis yang sudah mengantongi dukungan dari Kementerian Kesehatan.
Rencana perubahan threshold atau ambang batas bagi PPh final 1% serta kemungkinan implementasi peraturan fiskal bagi e-commerce diproyeksikan mengerek kepatuhan formal wajib pajak. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan, dengan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah di mana salah satunya mengenai pemajakan dagang elektronik maka kepatuhan wajib pajak akan terkerek naik.
Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Ditjen Pajak hingga 2019, target kepatuhan wajib pajak mencapai 80% dari jumlah wajib pajak yang wajib melaporkan SPT. Dengan asumsi setiap tahun terjadi kenaikan 2,5%, jika tahun lalu ditargetkan sebesar 75%, maka target kepatuhan formal wajib pajak tahun ini berada di kisaran 77,5%.
Selain mengatur soal perpajakan, pemerintah saat ini juga tengah mempersiapkan aturan yang akan membatasi produk impor yang bisa dijual oleh e-commerce. Aturan main yang tengah digodok oleh Kementerian Perdagangan ini mensyaratkan pelaku bisnis e-commerce untuk menjual produk lokal dalam jumlah tertentu. Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kemenko Perekonomian Mira Tayyiba mengatakan pihaknya tengah mengkaji ketentuan agar pelaku dagang elektronik lebih banyak menjual produk lokal daripada produk impor.
Oleh karena itu, langkah awal yang akan dilakukan ialah mengumpulkan data pelaku bisnis e-commerce. Mekanisme menjaring data tersebut akan dilakukan melalui program pendaftaran penyelenggaraan sistem elektronik (SPE). Nantinya, aturan ini tidak hanya berlaku untuk pebisnis online, pemerintah ingin peritel konvensional juga mematuhi kebijakan ini. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.