Managing Partner DDTC Darussalam (dua dari kiri) saat memberikan paparan dalam diskusi publik, Kamis (4/4/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Dalam lima tahun terakhir target setoran pajak tidak pernah bisa dicapai. Otoritas fiskal perlu mendalami sumber kebocoran yang menggerus penerimaan negara dari sektor pajak.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan setidaknya terdapat lima sumber kebocoran yang menggerus penerimaan pajak. Dua diantaranya merupakan sumber di ranah domestik. Sementara, tiga sumber lain merupakan bagian dari perpajakan internasional.
Salah satu faktor dari sisi domestik adalah kebocoran dalam struktur produk domestik bruto (PDB) nasional. Masih besarnya porsi ekonomi informal membuat kinerja penerimaan menjadi tidak optimal. Sektor informal ini sulit dipajaki (hard to tax) karena tidak tercatat secara resmi.
“Penelitian Schneider, Buehn dan Montenegro pada 2010 menyebutkan shadow economy di Indonesia rata-rata sebesar 18,9% dari PDB. Dan sekarang ditambah dengan digital economy yang juga sulit dipajaki,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik bertajuk Urgensi Reformasi Pajak: Indeks Ketaatan Pajak VS Tradisi Pungli’, Kamis (4/4/2019).
Selain itu, masih dalam lingkup domestik, faktor kebocoran kedua adalah praktik tidak dilaporkan dan tidak dibayarkannya beban pajak. Dalam situasi ini, penegakan hukum menjadi obat utama mengatasi permasalahan.
Selanjutnya, ada tiga faktor dari konteks internasional yang menjadi sumber kebocoran. Ketiganya merupakan implikasi dari era globalisasi. Pertama, tren kompetisi pajak antar negara dengan alasan untuk mendorong perekonomian.
Kompetisi ini tidak hanya berkutat pada aspek tarif. Lebih jauh dari itu, rezim pemajakan juga berpotensi bergeser dari sistemworldwide menjadi territory untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Kedua, praktik pengelakan pajak ke negara dengan rezim tarif pajak rendah, bahkan tidak ada pemajakan sama sekali. Menurut Gabriel Zuchman (2015), sekitar US$7,6 triliun dana global disimpan di negara-negara tax haven. Dari jumlah itu, hanya 20% yang diketahui oleh otoritas pajak negara nasabah.
“Untuk offshore tax evasion ini sebetulnya sudah di-counter dengan adanya skema pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan atau exchange of Information, baik otomatis maupun by request,” tandasnya.
Ketiga, praktik base erosion and profit shifting (BEPS). Kebocoran dari praktik pengalihan laba di Indonesia menggerus penerimaan PPh badan hingga 7%. Hitung-hitunganya, penerimaan PPh Badan selama lima tahun terakhir berkisar antara Rp180 triliun—Rp250 triliun. Jika diasumsikan sekitar 7% dari angka tersebut hilang maka nilainya sekitar Rp12,6 triliun—Rp17,5 triliun.
“Dari 15 aksi menanggulangi BEPS, Indonesia sudah mengadopsi beberapa aksi,” imbuhnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.