PEKANBARU, DDTCNews – Desakan elemen mahasiswa agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merevisi Perda No.4/2015 terkait besaran pajak bahan bakar umum belum juga terealisasi. Pasalnya, perubahan aturan yang dinilai memberatkan masyarakat dalam membeli bahan bakar non-subsidi ini akan mempengaruhi penerimaan ke kas daerah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Anggota Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Riau Yusuf Sikumbang. Mengubah aturan tersebut tidak mudah membalikan telapak tangan karena banyak hal yang dipertimbangkan.
"Kami mau mengkaji dulu, apa dampaknya terhadap PAD? Anggaran APBD 2018 kan sudah disahkan, dengan asumsi pajak BBM non-subsidi sebesar 10%, persoalan ini harus ditanyakan juga ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda)," katanya, Rabu (21/2).
Yusuf menilai jika revisi jadi dilakukan maka butuh waktu jeda dalam penerapannya. Hal ini berkaitan erat dengan target penerimaan pajak yang kadung diteken dengan asumsi pajak sebesar 10%, jika terjadi penurunan tarif di tengah tahun maka akan berdampak negatif dari sisi realisasi penerimaan pajak nantinya.
"Jika pajak 10% yang terasumsi dalam APBD 2018 menghasilkan pendapatan Rp100 miliar, maka apabila pajak berkurang menjadi 5%, tentu pendapatan itu juga berkurang setengahnya menjadi Rp50 miliar. Hal ini bisa berdampak besar. Bisa jadi baru nanti kita terapkan di tahun 2019," ungkapnya.
Dia tidak memungkiri bahwa situasi saat ini sangat dilematis dalam pengambilan keputusan. Pasalnya, nikmat penurunan harga BBM dengan memangkas pajak tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
"Ada dilema sebenarnya, di satu sisi APBD yang sudah diketok dengan jumlah sekian, kalau direvisi pasti berkurang lagi PAD-nya. Rakyat juga yang rugi," keluhnya.
Seperti yang diketahui, tuntutan deras mengalir kepada Komisi III DPRD Provinsi Riau untuk mengubah frasa di Pasal 24 ayat 2 dalam Perda No.4/2015. Perubahan frasa itu ialah penetapa pajak sebesar 10% diganti menjadi sebesar-besarnya 10%.
Tuntutan ini bukan tanpa dasar, harga Pertalite sendiri untuk wilayah Riau dan Kepri merupakan yang termahal di Indonesia. Karena berdasarkan Perda tersebut memanfaatkan pola pajak maksimal. Tarif 10% untuk pajak bahan bakar jenis umum mengerek harga Pertalite mencapai Rp7.900 per liter. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.