Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Lesunya kinerja perdagangan diperkirakan masih menekan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN). Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (16/7/2019).
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan kontraksi yang terjadi di sisi impor membuat performa setoran PPN tidak jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.
“Pada Juni, PPN masih mengalami tekanan, terutama karena impornya juga tertekan,” kata Yon.
Penerimaan PPN per Mei 2019 terkontraksi 4,41%. Performa ini dipengaruhi oleh setoran PPN dalam negeri yang tercatat minus 5,7% dan PPN impor minus 2,72%. Selama ini, pemerintah selalu beralasan faktor utama penyebab lesunya PPN adalah besarnya restitusi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realisasi kumulatif impor sepanjang Januari—Juni 2019 tercatat senilai US$82,2 miliar. Angka tersebut tercatat turun 7,63% atau senilai US$6,7 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, beberapa media nasional kembali menyoroti rencana pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Otoritas fiskal menegaskan rencana pemangkasan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20% sebagai bagian dari upaya untuk menarik investasi masuk ke Tanah Air.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Yon Arsal mengatakan lesunya penerimaan PPN akan menjadi tantangan besar untuk mengamankan target tahun ini. Apalagi, penerimaan pajak pajak per Mei 2019 senilai Rp496,6 triliun atau hanya tumbuh 2,4%. Pertumbuhan ini jauh dari target 19%.
Dengan demikian, ada risiko shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – penerimaan pajak. Dia mengaku risiko itu memang masih ada. Namun, dia tidak membeberkan secara rinci proyeksi shortfall penerimaan pajak tahun ini.
Pada akhir tahun lalu, DDTC Fiscal Research memperkirakan bahwa realisasi penerimaan pajak tahun ini akan berada di kisaran Rp1.450,0 triliun hingga Rp1.491,2 triliun. Dengan kata lain, realisasi penerimaan pajak hanya antara 91,9% hingga 94,5% dari target sebesar Rp.1.577,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan arah kebijakan perpajakan Indonesia dalam lima tahun mendatang harus sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo. Presiden ingin ada investasi besar-besaran, terutama untuk sektor yang berorientasi ekspor.
Salah satu kebijakan yang akan ditempuh yakni pemangkasan tarif PPh badan. Otoritas fiskal, sambungnya, masih menyusun rancangan revisi Undang-Undang (UU) PPh. Dia menegaskan draf akan dikonsultasikan dengan masyarakat, termasuk pelaku usaha.
“Ini diharapkan bisa disampaikan ke presiden pada bulan mendatang,” katanya.
Ditjen Pajak akan menggencarkan ekstensifikasi untuk di tengah peluncuran sejumlah insentif pajak dan rencana penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20%. Direktur Ekstensikasi dan Penilaian DJP Angin Prayitno Aji menyebut data merupakan salah satu urat nadi bagi otoritas pajak.
“Oleh karena itu, aktivitas ekstensifikasi menjadi salah satu kunci untuk memperbaiki basis data DJP. Intinya kami telah memiliki instrumen salah satunya automatic exchange of information . Nah dari situ kita lihat ternyata yang belum ber-NPWP masih banyak juga,” katanya.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan optimistis core tax system bisa beroperasi penuh pada 2024 mendatang meskipun pengadaan tahap pertama sedikit tertunda. Dia mengatakan sedikit tertundanya pengadaan lebih dikarenakan pemerintah ingin lebih prudent.
“Tahun 2022 mudah-mudahan sudah ada modul yang dicoba,” tuturnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.