Director DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji dalam pemaparan hasil kajian Gap Analysis Implementasi Digitalisasi Administrasi Perpajakan Daerah: Perbandingan antara Jakarta dan Kota Global yang dirilis oleh Biro Perekonomian dan Keuangan Daerah Setda Pemprov DKI Jakarta, Rabu (31/7/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Digitalisasi administrasi perpajakan di Jakarta makin maju. Praktiknya pun makin mendekati digitalisasi administrasi perpajakan yang berjalan di kota-kota global.
Untuk menangkap gambaran yang lebih luas, Biro Perekonomian dan Keuangan Daerah Setda Pemprov DKI Jakarta menggandeng DDTC Fiscal Research & Advisory untuk menyusun gap analysis dengan membandingkan implementasi digitalisasi administrasi perpajakan di Jakarta dengan kota-kota besar dunia seperti New York, London, Tokyo, Singapura, Brussels, Paris, Amsterdam, Sydney, dan Berlin. Hasilnya, terdapat beragam best practice yang bisa diadopsi oleh Pemprov DKI Jakarta agar capaian digitalisasi pajaknya setara dengan kota-kota global lainnya.
"Kita tidak berhenti pada konteks studi komparasi, tetapi juga melakukan gap analysis, yaitu bagaimana melihat apa yang ideal dan best practice dan sejauh mana derajat digitalisasi yang sudah dilakukan di Jakarta," ujar Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam diseminasi hasil kajian Gap Analysis Implementasi Digitalisasi Administrasi Perpajakan Daerah: Perbandingan antara Jakarta dan Kota Global, Rabu (31/7/2024).
Bawono mengatakan setidaknya terdapat 8 temuan dalam kajian ini. Pertama, derajat digitalisasi administrasi pajak daerah pada suatu kota dipengaruhi oleh inklusi digital warga, digitalisasi layanan publik, dan tingkat maturity dari digitalisasi serta sistem pajak di negara lokasi kota tersebut.
Inklusi digital berperan penting mengingat kebiasaan masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi bakal turut mendorong digitalisasi pajak. Selanjutnya, digitalisasi layanan publik secara umum juga berperan penting mengingat reformasi tersebut biasanya juga bakal diaplikasikan pada aspek fiskal.
Adapun maturity dari sistem pajak nasional juga berperan penting dalam mendorong digitalisasi administrasi pajak daerah mengingat reformasi pada tingkat nasional biasanya akan diikuti oleh pemerintahan tingkat daerah.
Berdasarkan data yang tersedia, perkembangan ekosistem digitalisasi di Jakarta masih belum sebanding dengan kota-kota global lainnya. Namun, Jakarta masih memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalan secara gradual berdasarkan roadmap yang disusun.
"Kalau dibilang apple-to-apple, tentu tidak. Namun, yang penting adalah bagaimana kita bisa secara gradual dengan roadmap yang jelas untuk bisa mencapai tingkat digitalisasi administrasi pajak di kota-kota global lainnya," ujar Bawono.
Kedua, kebanyakan proses bisnis pajak daerah di Jakarta sudah terdigitalisasi, utamanya terkait pendaftaran, pembayaran, pelaporan, dan knowledge management. Hal ini sejalan dengan tren di kota-kota global lainnya. Pasalnya, proses bisnis-proses bisnis amat terkait erat dengan kepatuhan dan paling banyak digunakan oleh wajib pajak.
"Ini adalah proses bisnis yang merupakan pintu masuk bagi wajib pajak untuk bisa berpartisipasi dan patuh pada sistem pajak, yaitu pendaftaran, pembayaran, pelaporan, dan nanti ada manajemen pengetahuan," ujar Bawono.
Ketiga, penggunaan innovative technology di Jakarta diketahui masih belum semaksimal kota-kota global lainnya. Adapun innovative technology yang dimaksud, contohnya adalah blockchain, artificial intelligence, cloud technology, data science, robotics process automation, application programming interface, whole of government identification system, digital identification technology, dan virtual assistance.
Oleh karena penggunaan innovative technology di Jakarta masih relatif minim, analisis data oleh sistem administrasi perpajakan daerah Jakarta masih bersifat diagnostik. Artinya, sistem administrasi perpajakan daerah mampu menganalisis kejadian di masa lalu dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya.
Di kota-kota global lainnya, sistem administrasi pajak daerah sudah memiliki kapabilitas untuk melakukan analisis preskriptif. Artinya, sistem administrasi pajak mampu memprediksi hal yang akan terjadi di kemudian hari dan memberikan rekomendasi untuk merespons prediksi tersebut.
Keempat, terkait dengan perencanaan dan penetapan sasaran dalam proses digitalisasi administrasi pajak daerah, Bawono mengatakan fokus digitalisasi di Jakarta saat ini cenderung berfokus pada upaya untuk menurunkan compliance cost. Fokus tersebut dipandang perlu diperluas.
Sesuai dengan rekomendasi Asian Development Bank (ADB), digitalisasi administrasi pajak perlu berfokus pada efektivitas, efisiensi dan kecepatan, serta fungsi-fungsi lainnya.
"Jadi message-nya ADB itu clear, bahwa digitalisasi itu bukan targetnya itu sendiri, tetapi suatu cara untuk mencapai hal-hal yang kita lihat di sini, misal menurunkan compliance cost, mengurangi sengketa, peningkatan kepuasan, dan fungsi lainnya," ujar Bawono.
Kelima, digitalisasi administrasi pajak daerah memerlukan dukungan dalam bentuk integrasi data, kerja sama antarunit, dan interoperabilitas. Dengan demikian, administrasi pajak tidak bisa lagi dipandang sebagai standalone organisation, melainkan bagian dari network yang berdampingan dengan layanan-layanan publik lainnya.
Perubahan sudut pandang ini diperlukan mengingat digitalisasi administrasi pajak memerlukan data dari seluruh unit. "Digitalisasi itu bahan bakarnya adalah data yang berkualitas dan terstandardisasi. Jadi bagaimana nantinya proses bisnis pajak ini berjalan ideal, ini dengan melihat bagaimana integrasi data dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki data tersebut," ujar Bawono.
Keenam, digitalisasi administrasi pajak perlu memberikan perhatian terhadap penghormatan hak-hak wajib pajak. Pada kota-kota global yang dianalisis, seluruhnya telah memberikan saluran elektronik untuk pengajuan restitusi, gugatan, hingga banding.
Sistem administrasi pajak di kota-kota global juga mampu menjamin hak wajib pajak untuk memperoleh informasi terkait dengan urusan pajaknya, hak atas privasi data wajib pajak, dan bahkan hak untuk menyampaikan pengaduan secara langsung ke tax ombudsman.
"Digitalisasi ini sebenarnya tools untuk mengedepankan jaminan hak-hak wajib pajak yang mungkin sebelumnya terkendala. Misal, right to be informed. Bagaimana sih kita mengetahui prosedur restitusi kita sampai mana? Pada saat manual kita bertemu dengan person, kalau digitalisasi kita bisa men-track hal-hal tersebut," ujar Bawono.
Ketujuh, digitalisasi administrasi pajak seharusnya memungkinkan otoritas pajak untuk melakukan manajemen kepatuhan pajak sesuai dengan profil dari setiap wajib pajak. Bawono mengatakan wajib pajak yang berniat untuk patuh tetapi terkendala seyogianya mendapatkan perlakuan yang berbeda dari wajib pajak yang memang tidak ingin patuh.
Oleh karena itu, digitalisasi administrasi seharusnya mampu memberikan perlakuan pajak yang berbeda dan tepat sasaran sesuai dengan profil dari setiap wajib pajak. "Jangan sampai orang yang selalu patuh diberikan penegakan hukum terlalu harsh. Atau sebaliknya, kita tahu karakternya tidak ingin patuh tetapi malah diberikan fasilitas. Digitalisasi bisa secara tepat melakukan profiling dan juga memberikan treatment yang tepat," kata Bawono.
Kedelapan, digitalisasi perlu mendukung kehadiran pelayanan yang berorientasi pada pengguna (user centric) dan knowledge management. Pada kebanyakan kota global, pelayanan pajak telah diberikan lewat satu situs khusus. Di Jakarta, layanan pajak telah diberikan lewat pajakonline.jakarta.go.id.
Bedanya, laman layanan pajak di kota-kota global sudah mampu memberikan pelayanan pajak menggunakan berbagai bahasa. "Ini remeh tetapi ini mencerminkan [statusnya] sebagai kota global," ujar Bawono.
Tak hanya itu, kota-kota global yang menjadi pembanding telah memberikan penjelasan terkait dengan pajak pada laman resminya masing-masing. Bahkan, 4 di antaranya juga menyediakan fitur simulasi penghitungan pajak.
Berdasarkan 8 temuan tersebut, Bawono berkesimpulan bahwa digitalisasi administrasi pajak daerah di Jakarta sudah relatif maju. Hanya saja, memang terdapat beberapa best practice yang belum diimplementasikan di Jakarta.
Catatan positifnya, progres digitalisasi administrasi pajak di Jakarta sudah kian berkembang ke arah yang lebih baik dan berada pada kategori tax administration 2.0, tidak kalah bila dibandingkan dengan kota-kota lainnya. "Kalau bicara klasifikasi, saya berani bilang Jakarta berada di tax administration 2.0. Pada 2.0 adalah stepping stone menuju 3.0 di mana seamless compliance bisa ditemui pada proses bisnis pajak," ujar Bawono. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.