TRANSPARANSI FISKAL

BPK Persoalkan Analisis Kesinambungan Fiskal Jangka Panjang BKF

Muhamad Wildan | Sabtu, 18 Juli 2020 | 10:01 WIB
BPK Persoalkan Analisis Kesinambungan Fiskal Jangka Panjang BKF

Kantor pusat Badan Pemeriksa Keuangan di Jakarta. (Foto: bpk.go.id)

JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta kepada pemerintah menyempurnakan analisis kesinambungan fiskal jangka panjang. Hal ini tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal 2019.

Meski pemerintah sesungguhnya sudah memiliki analisis tersebut, BPK menilai analisis kesinambungan fiskal jangka panjang dari pemerintah yakni laporan Long Term Fiscal Sustainability (LTFS) yang disusun Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tahun lalu belum memiliki landasan hukum.

"Landasan hukum diperlukan sebagai komitmen pemerintah untuk terus menerbitkan Long Term Fiscal Sustainability (LTFS) secara berkala serta untuk mengatur informasi minimal yang harus disajikan pada laporan tersebut," tulis BPK dalam LHP-nya, seperti dikutip Selasa (14/7/2020).

Baca Juga:
BKF: Ekonomi 2025 Tetap Bakal Tumbuh di Atas 5% Meski PPN Jadi 12%

Lebih lanjut, LTFS yang disusun oleh BKF tahun lalu masih dilengkapi dengan pengungkapan prinsip dan metodologi penyusunan yang memadai. Prinsip dan metodologi itu merupakan bagian transparansi dan akuntabilitas analisis kesinambungan fiskal jangka panjang yang memadai.

Secara cakupan, LTFS telah mempertimbangkan dampak demografi serta skenario penerimaan perpajakan. Namun, BPK menilai LTFS masih belum mempertimbangkan dampak perubahan volume dan nilai sumber daya alam (SDA) yang memiliki pengaruh signifikan terhadap postur anggaran.

Lebih lanjut, LTFS juga masih sama sekali belum mempertimbangkan faktor kebencanaan dan perubahan iklim dalam menganalisis kesinambungan fiskal jangka panjang serta belum melengkapi laporan tersebut dengan analisis sustainabilitas utang (debt sustainability analysis/DSA).

Baca Juga:
Soal Daya Saing RI saat Tarif PPN Jadi 12 Persen, Ini Kata Kepala BKF

Analisis kesinambungan fiskal pada LTFS sendiri telah terbagi dalam tiga periode yakni sebelum 2018, periode jangka menengah 2020-2024, dan periode jangka panjang 2020-2045.

Analisis jangka panjang telah memproyeksikan dana perlindungan sosial, penerimaan pajak, keseimbangan primer, defisit, hingga utang pemerintah sampai 2045. Sayangnya, tidak ada angka atau nominal yang jelas yang dicantumkan pada proyeksi-proyeksi tersebut.

Oleh karena standar dan metodologi yang tidak diungkapkan tersebut, BPK tidak dapat menilai secara komprehensif analisis-analisis pemerintah pada LTFS tersebut.

Baca Juga:
Begini Proporsi Penerima Fasilitas Pembebasan PPN atas Kebutuhan Pokok

"Karena LTFS bukan panduan baku mengenai proyeksi keberlanjutan fiskal jangka panjang, maka hasil analisis tersebut tidak dapat dijadikan alat pengendalian dan evaluasi yang mengikat atau sebagai pertimbangan pengambil keputusan dalam menentukan arah kebijakan ekonomi," tulis BPK.

Untuk diketahui, pemerintah baru kali pertama menerbitkan analisis fiskal jangka panjang pada tahun lalu. Pada analisis itu, pemerintah membagi periode fiskal dalam 3 periode, yakni tahap penguatan pondasi 2020-2030, tahap transisi 2031-2035, dan tahap tinggal landas 2036-2045.

Skenario-skenario yang dituangkan dalam LTFS hingga 2045 mendatang antara lain skenario baseline, skenario reformasi moderat, dan skenario reformasi komprehensif. (Bsi)


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 23 Desember 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jasa Layanan QRIS Kena PPN 12%, Pembeli Tak Kena Beban Pajak Tambahan

Minggu, 22 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

BKF: Ekonomi 2025 Tetap Bakal Tumbuh di Atas 5% Meski PPN Jadi 12%

Minggu, 22 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Daya Saing RI saat Tarif PPN Jadi 12 Persen, Ini Kata Kepala BKF

Senin, 16 Desember 2024 | 16:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN 2023

Begini Proporsi Penerima Fasilitas Pembebasan PPN atas Kebutuhan Pokok

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU