Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joni Kiswanto dalam acara DJP Tax Live. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews – Joni Kiswanto, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan ada 4 alasan wajib pajak kerap menaruh uangnya di luar negeri, disimpulkan dari literasi perpajakan internasional.
Pertama, tarif pajak rendah seperti di negara-negara yang kerap disebut sebagai suaka pajak atau tax haven country. Tarif pajak yang ditawarkan bahkan bisa mencapai 0% bagi korporasi.
“Otomatis wajar ya orang taruh uang di sana, karena nggak mau dipotong pajak gede-gede,” kata Joni dalam acara Tax Live: Ungkap Pajak Untuk Indonesia, dikutip Sabtu (19/2/2022).
Dia mencontohkan Singapura dengan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan yang berlaku sebesar 17%. Secara geografis, Singapura juga dekat dengan Indonesia sehingga posisinya strategis bagi wajib pajak dalam negeri untuk menaruh uangnya.
Selain Singapura, Joni menyebut negara-negara lain yang kerap jadi tujuan penghindaran pajak yakni Hong Kong dan Swiss yang tarif pajak korporasinya 16%. Lalu, Cayman Island yang bagikan membanderol PPh Badan 0%.
“Kalau itu digunakan di negara tersebut untuk buka usahanya bisnis baru kan dapat penghasilan juga, dan kena pajaknya otomatis kecil juga di sana. Jadi mereka prefer taruh uang di sana,” kata Joni.
Alasan kedua, Joni menyampaikan banyak wajib pajak juga yang mempertimbangkan insentif pajak yang diberikan kepada dunia usaha.
Ketiga, faktor stabilitas ekonomi dan politik. “Tidak ada orang yang mau taruh uangnya di negara yang lagi kacau, nanti tidak bisa diambil,” ucap Joni.
Keempat, terkait dengan keamanan dan kerahasiaan data. Joni mengatakan di tax haven country biasanya data dan informasi wajib pajaknya akan dilindungi dan dirahasiakan.
“Itu pasti akan lebih nyaman lagi terutama yang dananya ilegal dari korupsi atau perdagangan yang ilegal. Inilah kira-kira faktor yang membuat orang lebih suka taruh uangnya di luar negeri,” kata Joni.
Sementara itu, Joni mengatakan pemerintah Indonesia sudah berupaya agar tarif pajak dalam negeri lebih kompetitif. Salah satunya, dengan menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% yang berlaku sejak 2020.
“Memang belum setara karena tarif diatur dalam Undang-Undang (UU) banyak yang perlu dipertimbangkan. Tidak bisa serta-merta kita ikutan tarif 17%. Ada kajian di sana berapa tarif yang masih mungkin diterapkan untuk masih bisa bersaing dengan negara lain,” ujar Joni.
Sementara itu, dari sisi kerahasiaan data, Joni menyebut hal ini tampaknya akan sulit diwujudkan bagi wajib pajak. Sebab, berbagai negara sudah berkomitmen melakukan pertukaran data, misalnya negara-negara yang tergabung dalam G-20.
“Kalau faktor kerahasiaan agak sulit, karena antar negara trennya sudah buka-bukaan antar informasi negara. Jadi sepanjang kita memberikan competitiveness tapi tanpa harus melanggar dari koridor UU,” imbuhnya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.