Ilustrasi. (Foto: blogs.worldbank.org)
SEKITAR 14 tahun silam, persisnya 14 Desember 2007, berkala Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia. Beberapa anggota kabinet masuk ke dalam daftar tersebut. Lalu wartawan bertanya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Mau diapakan daftar orang kaya itu.
Dengan tangkas, Menkeu menjawab dengan mengatakan pemerintah akan mengejar pajak orang kaya. Pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah langkah untuk menelusuri kewajiban perpajakan orang kaya.
“Yang akan ditelusuri itu semua jenis pajaknya. Pajak badan relatif lebih mudah dari pajak pribadi, meski di lapangan keduanya sama sulit. Jadi walaupun disebut Forbes dia punya Rp50 triliun, dia akan katakan that’s not mine, itu kan keseluruhan dari badan yang saya punya,” katanya.
Setelah 16 bulan berlalu, muncul KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi, di bawah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar. KPP ini mengumpulkan 1.200 wajib pajak dengan setoran Surat Pemberitahuan (SPT) di atas Rp1 miliar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang meresmikan KPP ini.
Sejak itu, wacana optimalisasi pajak orang kaya (high net-worth individual/HNWI) terus digencarkan. Senjata yang digunakan Pasal 17 UU Pajak Penghasilan (PPh), yakni dengan tarif 30% untuk kelompok penghasilan tertinggi, yaitu di atas Rp500 juta.
Senjata pajak progresif itu dipakai karena sejak reformasi pajak 1985 kita tidak lagi mengenal pajak kekayaan. Memang, substansi pajak kekayaan masih ada, misalkan pada pajak kendaraan bermotor yang dipungut pemerintah daerah. Namun, bentuk lain seperti pajak warisan belum ada.
Baru ketika muncul kebijakan amnesti pajak pada 2016, muncul lagi terminologi pajak kekayaan. Pasalnya, objek amnesti pajak ketika itu adalah kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan, yang terepresentasi dalam harta yang belum dilaporkan dalam SPT.
Setelah 4 tahun berlalu, kini timbul pandemi Covid-19. Pandemi ini telah sedemikian rupa menggerus kas hampir seluruh negara di dunia untuk membiayai penanganannya. Pada saat yang sama, pandemi ini juga memicu krisis ekonomi, yang menyebabkan penerimaan pajak terkontraksi.
Lalu muncullah beberapa saran. International Monetary Fund dan Organisation for Economic Co-operation and Development merekomendasikan pajak orang kaya atau pajak kekayaan. Sebab, pajak ini dinilai kebal dari krisis, karena krisis biasanya menghantam ekonomi orang kebanyakan.
Di Indonesia situasinya juga begitu. Sampai Agustus 2020 misalnya, hanya pos penerimaan PPh orang pribadi nonkaryawan yang tumbuh positif saat pos penerimaan yang lain terkontraksi. Meski, jumlahnya masih sangat kecil, hanya Rp9,12 triliun atau 1,35% dari realisasi penerimaan waktu itu.
Karena berbagai saran itulah antara lain, selama pandemi Covid-19 ini, seperti dicatat Indonesia Taxation Quarterly Report Q2-2020, paling tidak sudah 10 negara yang mengajukan proposal pemajakan individu yang memiliki penghasilan tinggi (CEPA, April 2020).
Lalu, apakah Indonesia tertarik menerapkan pajak kekayaan? Tampaknya tidak. UU Cipta Kerja yang mengubah UU Pajak Penghasilan faktanya tidak menambah objek pajak. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah optimalisasi penerimaan pajak orang kaya.
Poin inilah yang kemudian menjadi komitmen Ditjen Pajak (DJP) pada 2021, seperti tertulis dalam Laporan Kinerja DJP 2020. DJP juga mengusulkan agar optimalisasi tersebut juga menjadi salah satu arah kebijakan pada Rencana Strategis DJP dalam 5 tahun ke depan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas pajak akan menggunakan data dan informasi dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lain untuk melakukan pengawasan penerimaan pajak dari wajib pajak orang kaya.
“UU 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sudah memberikan ruang bagi DJP untuk mengakses data yang diperlukan. Kalau kita bicara tentang wajib pajak yang tergolong HWI tentu populasinya sangat kecil, jadi siapa-siapanya dapat kita deteksi,” ujarnya.
Apakah balada optimalisasi pajak orang kaya ini akan berhasil, dan akan mengubah secara signifikan struktur penerimaan pajak kita yang sangat didominasi penerimaan pajak badan? Tentu saja, upaya itu layak diapresiasi. Namun, berhasil atau tidak, waktu yang akan menjawab. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
penelusuran pasal di UU perpajakn sebaiknya diteliti dgn seksama... krn dikhawatirkan ada sponsor entah dr pemain global maupun pemain2 di DN.. yg menekan pada penentu kebijakan.
Tangeh lamun..sblum ada tax reform scr keseluruhan... gejalanya adalah mrk ngumpet dlm regulasi di perush go public masuk bursa efek.. berpapun tambah menfaat ekonomisnya mrk tidak dpt terkena pasal..PPh. ya mungkin sangat kecil dan terlalu kecil dgn tarif2 lain spt atas penghasilan bunga bank.. dan pengahsilan lainnya. Capital gain sebaiknya harus di kenakan PPh. Si Kaya tmbah kaya...bayangin saja waktu beli saham katakan 1000 rupiah menjadi 20.000 rupiah dan dijual dibursa cuman dikenakan 0,1%