KEBIJAKAN CUKAI

Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau Bisa Dukung Usaha IKM, Ini Kata DJBC

Dian Kurniati | Jumat, 28 Juli 2023 | 09:00 WIB
Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau Bisa Dukung Usaha IKM, Ini Kata DJBC

Ilustrasi. Sejumlah buruh rokok memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) di salah satu pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (20/6/2023). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/2023 yang mengubah nama kawasan industri hasil tembakau (KIHT) menjadi aglomerasi pabrik hasil tembakau (APHT).

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan DJBC Encep Dudi Ginanjar mengatakan pengusaha pabrik yang menjalankan kegiatan di tempat APHT akan diberikan beberapa kemudahan, sekaligus kepastian hukum bagi penyelenggara dan pengusaha barang kena cukai.

"Kami berharap kemudahan ini dapat dimanfaatkan oleh pengusaha pabrik hasil tembakau pada skala IKM dan UMKM, serta mendukung pelaksanaan pemanfaatan DBH CHT, terutama perihal program pembinaan industri," katanya, dikutip pada Jumat (28/7/2023).

Baca Juga:
Jadi Kontributor Pajak Terbesar, Manufaktur Diklaim Pulih Merata

Encep menuturkan APHT merupakan pengumpulan atau pemusatan pabrik dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu. Aglomerasi ini bertujuan meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pengusaha pabrik hasil tembakau.

Aglomerasi pabrik diperuntukkan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan menengah (IKM) atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

APHT dapat dilaksanakan pada 4 tempat yaitu kawasan industri, kawasan industri tertentu, sentra industri kecil dan industri menengah, dan tempat pemusatan industri tembakau lainnya yang memiliki kesesuaian dengan tata ruang wilayah.

Baca Juga:
Banyak Tantangan, Insentif Fiskal Jadi Andalan untuk Jaga Pertumbuhan

Tempat diselenggarakannya APHT merupakan tempat yang peruntukan utamanya bagi industri hasil tembakau.

Kegiatan yang dapat dilakukan di APHT meliputi penyelenggaraan tempat aglomerasi pabrik, kegiatan menghasilkan barang kena cukai (BKC) berupa hasil tembakau, serta mengemas BKC hasil tembakau dalam kemasan untuk penjualan eceran dan pelekatan cukai.

Kemudahan untuk Pengusaha Pabrik

Pengusaha pabrik yang menjalankan kegiatan di APHT diberikan 3 kemudahan. Pertama, perizinan di bidang cukai berupa pengecualian dari ketentuan memiliki luas lokasi, bangunan, atau tempat usaha, yang akan digunakan sebagai pabrik hasil tembakau.

Baca Juga:
Ada Fasilitas KITE, Menko Airlangga Ingin Daya Saing UMKM Meningkat

Kedua, kerja sama dilakukan untuk menghasilkan BKC hasil tembakau. Ketiga, penundaan pembayaran cukai yang diberikan dalam jangka waktu penundaan 90 hari.

Encep menyebut penyelenggara APHT harus memenuhi persyaratan tempat aglomerasi pabrik, persyaratan penyelenggara, dan kewajiban penyelenggara.

Bagi penyelenggara aglomerasi pabrik yang telah memenuhi persyaratan dapat menyampaikan permohonan dan melakukan pemaparan proses bisnis kepada kepala kanwil atau kepala KPU tempat usaha tersebut dijalankan.

Baca Juga:
Seluruh K/L Diminta Usulkan Revisi Belanja Paling Lambat 14 Februari

Pengusaha pabrik hasil tembakau yang akan menjalankan kegiatan usaha pada APHT juga wajib memiliki nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC).

"Untuk mendapatkan NPPBKC, pengusaha pabrik hasil tembakau harus mengajukan permohonan NPPBKC sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan di bidang cukai dan juga melakukan pemaparan proses bisnis," ujarnya.

Encep menambahkan PMK 22/2023 mencabut PMK 21/2020 yang selama ini mengatur soal KIHT. Pada saat aturan ini diberlakukan, pemerintah telah menetapkan 2 KIHT, yaitu di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Seiring berjalannya waktu dan berdasarkan hasil monitoring, ketentuan soal KIHT dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan di lapangan. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan aturan baru soal APHT untuk lebih memudahkan pelaku industri hasil tembakau. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 01 Februari 2025 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jadi Kontributor Pajak Terbesar, Manufaktur Diklaim Pulih Merata

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Banyak Tantangan, Insentif Fiskal Jadi Andalan untuk Jaga Pertumbuhan

Jumat, 31 Januari 2025 | 09:30 WIB AMERIKA SERIKAT

AS Buka Opsi Batalkan Bea Masuk 25% Atas Impor dari Kanada dan Meksiko

Kamis, 30 Januari 2025 | 17:55 WIB PAJAK INTERNASIONAL

Penghindaran Pajak Lebih Rugikan Negara Berkembang daripada yang Maju

BERITA PILIHAN
Sabtu, 01 Februari 2025 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jadi Kontributor Pajak Terbesar, Manufaktur Diklaim Pulih Merata

Jumat, 31 Januari 2025 | 19:30 WIB KONSULTASI PAJAK    

DJP Bisa Tentukan Nilai Harta Berwujud, Ini yang Perlu Diperhatikan

Jumat, 31 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Pajak Minimum Global Bagi WP CbCR Bisa Dinolkan, Begini Kriterianya

Jumat, 31 Januari 2025 | 17:15 WIB DDTC ACADEMY - INTENSIVE COURSE

Wah, Transaksi Intragrup Naik! Perlu Paham Transfer Pricing

Jumat, 31 Januari 2025 | 16:11 WIB CORETAX SYSTEM

Bermunculan Surat Teguran yang Tak Sesuai di Coretax? Jangan Khawatir!

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Banyak Tantangan, Insentif Fiskal Jadi Andalan untuk Jaga Pertumbuhan

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:31 WIB KEBIJAKAN PAJAK

WP Tax Holiday Terdampak Pajak Minimum Global, PPh Badan Turun Lagi?

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:11 WIB KEBIJAKAN INVESTASI

Supertax Deduction Kurang Laku, Ternyata Banyak Investor Tak Tahu

Jumat, 31 Januari 2025 | 14:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Demi Kejar Pajak, Dinas ESDM Petakan Ulang Sumur Air Tanah di Daerah

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:45 WIB PAJAK MINIMUM GLOBAL

Ada Pajak Minimum Global, RI Cari Cara Biar Insentif KEK Tetap Menarik