JAKARTA, DDTCNews—Realisasi penerimaan pajak hingga akhir Agustus 2019 mencapai Rp801,02 triliun setara dengan 50,78% dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577,56 triliun. Capaian tersebut hanya tumbuh 0,21% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp799,46 triliun.
Pertumbuhan penerimaan pajak yang sangat rendah itu terjadi karena dua komponennya, yakni setoran pajak penghasilan (PPh) migas serta pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), sama-sama tumbuh negatif.
PPh migas tumbuh negatif 6,22% menjadi Rp39,42 triliun, PPN dan PPnBM tumbuh negatif 6,36% menjadi Rp288,01 triliun. Beruntung, PPh nonmigas masih tumbuh 3,97% menjadi Rp454,78 triliun, dan pajak bumi dan bangunan serta pajak lainnya tumbuh 52,41% menjadi Rp18,94 triliun.
Atas realisasi tersebut, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengatakan target penerimaan pajak 2019 tidak akan tercapai. “Kelihatannya outlook APBN 2019 itu kita mungkin kepeleset dari target penerimaan pajak sampai Rp200 triliun,” ujarnya, Senin (7/10/2019).
Dengan kondisi kas yang tekor itu, opsinya tinggal menambah utang atau memangkas belanja. Namun, menambah utang bukan hal mudah. Lembaga pemeringkat Moodys, International Monetary Fund, juga Badan Pemeriksa Keuangan, sudah memberikan catatan atas peningkatan utang pemerintah.
Hal yang sama juga terjadi pada pemangkasan belanja. Tidak mudah memangkas belanja dalam situasi seperti ini. Dampak lanjutannya yang lebih besar, seperti kontribusinya pada konsumsi rumah tangga, harus ditimbang agar tidak membuat pertumbuhan ekonomi semakin terkoreksi.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati memprediksi realisasi defisit akan makin melebar karena pertumbuhan ekonomi tahun ini akan meleset dari target 5,3%. “Melihat realisasi semester satu, kemungkinan PDB sampai akhir tahun hanya sekitar 5% dan ini akan semakin menambah shortfall pajak,” katanya.
Enny menilai, pemerintah terlalu banyak memberi insentif perpajakan yang membuat penerimaan berkurang, tetapi tidak bertaji menstimulasi pertumbuhan ekonomi sesuai dengan ekspektasi. “Insentif fiskal memang bagus untuk stimulus, tapi kalau tidak tepat justru menimbulkan komplikasi,” ujar Enny.
Kepala Riset LPEM UI Febrio Kacaribu menambahkan insentif pajak tidak sejalan dengan percepatan produksi industri. “Idealnya, produksi naik lebih cepat daripada penurunan penerimaan pajak akibat insentif, tapi ternyata tidak. Artinya, elastisitas dari pemberian insentif ini rendah,” katanya.
Sepanjang semester I-2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya melaju 5,06%. Dalam prognosisnya, pemerintah memperkirakan outlook pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun sebesar 5,%, dan defisit APBN diproyeksi melebar dari target awal 1,84% terhadap PDB menjadi 1,93% terhadap PDB.
Dengan shortfall pajak yang melebar itu, konseksuensi yang dihadapi Bendahara Negara hanya dua, menambah utang untuk menutup kekurangan pembiayaan akibat shortfall tersebut, atau pangkas belanja dan menjaga defisit tidak melebar. Anda pilih mana? Tulis komentar Anda di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.