Founder DDTC Darussalam dalam seminar perpajakan bertajuk Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum di PKN STAN, Selasa (26/11/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Indonesia perlu strategi mendasar untuk memperbaiki kinerja tax ratio. Hingga 2023, angka tax ratio Indonesia masih sebesar 10,31%, jauh di bawah standar internasional menurut IMF, yakni minimal 15%. Angka tersebut menjadi batas ideal bagi Indonesia agar bisa secara mandiri membiayai pembangunannya.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) juga mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kinerja tax ratio yang relatif rendah. Tax ratio RI masih lebih rendah dari rata-rata 36 negara Asia, bahkan jauh di bawah negara-negara anggota OECD.
"Ini yang mestinya menjadi perhatian kita bersama. Tax ratio Indonesia relatif rendah, bahkan kalau dibandingkan dengan negara OECD, makin jauh ketertinggalan kita," ujar Founder DDTC Darussalam dalam seminar perpajakan bertajuk Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum di PKN STAN, Selasa (26/11/2024).
Jika dirunut ke belakang, sejak 2010, tax ratio Indonesia memang hanya berkutat di kisaran 9% sampai dengan 12%, kendati penerimaan pajak terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tak cuma itu, rata-rata tax buoyancy Indonesia sejak 2010 hingga 2019 juga hanya sebesar 0,88, kurang dari 1. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa kinerja pengumpulan pajak tidak sebanding dengan kinerja perekonomian Tanah Air.
"Artinya apa? Kita tidak mampu mengambil bagian dari kenaikan PDB untuk meningkatkan penerimaan pajak. Dari 1 kenaikan [PDB], kita hanya bisa ambil 0,88," ujar Darussalam.
Selama ini, khususnya dalam satu dekade terakhir, pemerintah memang telah dan tengah menjalankan reformasi perpajakan yang mencakup 5 pilar pembenahan. Pembenahan tersebut menyentuh bidang sumber daya manusia (SDM), proses bisnis, organisasi, regulasi, dan teknologi informasi berbasis data.
Namun, tampaknya reformasi pajak yang sudah berlangsung tersebut perlu dibarengi dengan strategi mendasar untuk membenahi sistem pajak nasional. Ada 4 langkah yang disodorkan oleh Darussalam.
Pertama, pemerintah perlu mendesain ulang struktur penerimaan pajak. Pajak yang dikumpulkan pemerintah selama ini, jika dibedah secara sektoral berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, bakal terlihat bahwa masih terdapat beberapa sektor perekonomian yang masih kurang dipajaki.
Mari kita coba lihat kinerja pada 2022. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor usaha pertanian berkontribusi sekitar 12,4% bagi PDB. Namun demikian, berdasarkan data Kementerian Keuangan, pertanian hanya menyumbang 1,4% terhadap penerimaan pajak. Selain karena faktor informalitas (hard-to-tax sector), ada pengaruh fasilitas pajak untuk pertanian.
Kemudian, sektor usaha pertambangan yang berkontribusi 12,2% terhadap PDB, hanya menyumbang 8,3% dalam penerimaan pajak. Belum optimalnya penerimaan pajak sektor ini mengindikasikan adanya praktik penghindaran pajak serta dugaan maraknya pertambangan ilegal sehingga masuk dalam kelompok shadow economy.
Contoh lagi, sektor konstruksi yang berkontribusi hingga 9,8% dalam struktur PDB, ternyata hanya menyumbang 4,1% terhadap penerimaan pajak. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari faktor masih diberlakukannya skema pajak penghasilan (PPh) final pada sektor usaha konstruksi. Dalam konteks ini, ada policy gap layaknya pemberian fasilitas pajak pada sektor pertanian.
Untuk meningkatkan tax ratio, struktur penerimaan pajak perlu diperbaiki dengan cara mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor yang masih cenderung undertaxed tersebut.
Tak cuma itu, penerimaan pajak Indonesia juga masih lebih banyak ditopang oleh pajak penghasilan (PPh) badan. Sebaliknya, kontribusi orang pribadi terhadap PPh masih cenderung minim. Agar tax ratio Indonesia bisa naik, kontribusi wajib pajak orang pribadi perlu ditingkatkan.
"Kalau kita masih mengandalkan PPh badan, sementara yang selalu kita anut ketika melakukan komparasi adalah negara-negara OECD, ya tentu kita harus sepakat bahwa PPh orang pribadi harus menjadi ujung tombak," ujar Darussalam.
Kedua, pemerintah perlu mendesain ulang pendekatan pemajakan. Maksudnya, pemajakan yang dianut pemerintah mestinya bergeser dari enforced compliance menuju cooperative compliance. Menurut Darussalam, banyak negara sudah meninggalkan upaya peningkatan kepatuhan pajak melalui enforcement.
Cooperative compliance tersebut, imbuh Darussalam, bisa terwujud melalui penyederhanaan sistem perpajakan dan peningkatan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan pajak.
Ketiga, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan pajak agar sesuai dengan kacamata konsep pajak. Contoh, pemerintah perlu mengembalikan netralitas PPN dengan mengurangi beragam fasilitas pengecualian dan pembebasan yang berlaku saat ini.
Menurut Darussalam, salah satu formula untuk meningkatkan penerimaan PPN adalah dengan menjaga netralitas PPN, yakni dengan meminimalisasi pengecualian pengenaan PPN.
"Awalnya semangat dari teman-teman DJP adalah memperkecil pengecualian PPN. Namun, ketika ini diusung, politiknya adalah kalau kebutuhan pokok tidak dikecualikan, ini akan jadi ramai," ujar Darussalam.
Menurut Darussalam, PPN seharusnya bisa tetap dikenakan terhadap kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat kecil sepanjang kebijakan tersebut dilengkapi dengan earmarking belanja. Lewat earmarking, PPN atas kebutuhan pokok akan langsung dikembalikan ke masyarakat melalui belanja pemerintah.
Keempat, pemerintah perlu mendesain ulang kelembagaan otoritas pajak. Menurut Darussalam, otoritas pajak memerlukan fleksibilitas dalam aspek penganggaran dan rekrutmen SDM.
Di banyak negara, otoritas pajak berhak untuk menggunakan anggaran sebesar persentase tertentu dari pajak yang sudah dikumpulkan otoritas. "Dari sisi SDM, perlu ada fleksibilitas untuk memanggil orang-orang terbaik di Indonesia untuk bisa bergabung ke lembaga pajak ini dengan remunerasi yang tidak kalah dengan yang ada di luar," ujar Darussalam.
Sejalan dengan hal tersebut, pentingnya isu perpajakan di era pemerintahan Prabowo juga turut menjadi perhatian DDTC. Baru-baru ini, DDTC menerbitkan 5 buku terbaru yang dapat menjadi panduan bagi publik untuk belajar perpajakan dan memahami arah kebijakan ke depan.
Untuk Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran, buku ini relevan diletakkan dalam konteks Kabinet Merah Putih. Terlebih, gagasan penulis menyentuh agenda perpajakan yang telah diusung Prabowo-Gibran dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat, 17 Program Prioritas, ataupun Asta Cita.
Buku tersebut juga merupakan hasil kolaborasi ahli dan profesi, mulai dari praktisi pajak, akademisi, aparatur sipil negara (ASN), konsultan pajak, wiraswasta, jurnalis, karyawan swasta, hingga mahasiswa. Artinya, gagasan-gagasan kaya perspektif, baik dari sisi otoritas maupun wajib pajak sekarang dan masa depan.
Sebagai tambahan informasi, hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 28 buku. Rencananya, sampai dengan akhir 2024, DDTC akan melengkapinya menjadi 30 buku.
Tertarik untuk memiliki salah satu buku terbitan DDTC? Nah, dalam seminar yang diadakan di PKN STAN ini, DDTC juga membagikan 30 buku terbitan terbaru secara gratis! Ada 5 buku DDTC Indonesian Tax Manual 2024: Menelusuri Dinamika Peraturan Perpajakan, 20 buku Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilani, dan 5 buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.
Caranya, scroll berita ini ke bawah dan temukan kolom komentar. Kemudian, isikan komentar terbaik Anda mengenai topik yang didiskusikan dalam seminar Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum ataupun komentar mengenai keseluruhan acara. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Pembahasan mengenai strategi dalam memperbaiki tax ratio memberikan ilmu tambahan yang diberikan kepada kami, namun terkait dengan poin ketiga mengenai netralitas PPN dengan mengurangi pengecualian pengenaan PPN, dengan naiknya PPN menjadi 12% melihat reaksi dari masyarakat Indonesia membuat daya beli menjadi relatif turun dikarenakan harga barang/jasa menjadi naik karena beban PPN yang naik, dengan mengurangj pengecualian PPN dan pengenaannya pada berbagai produk konsumsi masyarakat sehingga menimbulkan ketidaktimpangan atas ekonomi masyarakat, apakah dengan pengenaan PPN pada yang telah dikecualikan menjadi efektif dengan diiringi naiknya PPN menjadi 12%. Terima kasih atas informasi mengenai langkah strategi menaikkan tax ratio
Setuju dengan opini perlunya reformasi untuk peningkatan tax rasio dengan model baru baik birokrasi maupun model cara kerja dan kebijakan yang berbeda, namun pasti banyak faktor yang ada terpengaruh seperti inflasi dan daya beli karena pajak sangat berkaitan dengan nilai tambah atau pengahasilan suatu entitas. Hal paling menarik adalah asumsi pajak dimata masyarakat yang masih negatif, beliau menjelaskan dengan bagaimana model pendekatan koorperatif bukan kontraktif yang memberikan pandangan terbaru bagi pembaca👍 salam reform 💪💪💪
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan tax ratio adalah dengan melakukan simplifikasi regulasi perpajakan. Berdasarkan penelitian saya yang menggunakan pendekatan *Theory of Planned Behavior*, peningkatan kepatuhan pajak membutuhkan kombinasi yang seimbang antara sikap, norma subjektif, dan persepsi Wajib Pajak. Kombinasi tersebut membentuk niat yang pada akhirnya mendorong perilaku patuh terhadap pajak. Simplifikasi regulasi perpajakan dapat mendukung terciptanya kombinasi tersebut dengan meningkatkan pemahaman Wajib Pajak terhadap aturan yang berlaku. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong kepatuhan pajak secara menyeluruh, yang berkontribusi langsung pada peningkatan tax ratio.
Pembahasan kali ini sangat menarik karena cukup hangat dengan pemberitaan belakangan ini yaitu target optimis dari Presiden Terpilih Bapak Prabowo Subianto mewujudkan tax ratio 23% Indonesia 2025. Semakin menarik saat Bpk. Darussalam membahas perlunya keberanian pemerintah untuk evaluasi negative-list PPN maupun evaluasi pengenaan PPh yang sudah berlaku bertahun-tahun dan sudah menjadi "zona nyaman" pemerintahan saat ini. Hal ini tentunya juga harus dibarengi kesiapan masyarakat untuk menghadapi reformasi perpajakan di Indonesia. Nah, yang berikut ini sebenarnya tantangan terbesar pemerintah untuk menghadapi dilema antara politik dan ekonomi di negeri ini. Pajak Kuat Indonesia Maju!
Artikel ini secara tajam mengangkat isu rendahnya rasio pajak Indonesia yang menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo untuk memastikan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Pemerintahan yang baru harus merancang strategi mendasar untuk memperbaiki sistem perpajakan yang ada, dengan fokus pada peningkatan kepatuhan wajib pajak, penyederhanaan prosedur, serta pemanfaatan teknologi digital untuk meminimalkan kebocoran penerimaan. Selain itu, perlu ada upaya untuk mengoptimalkan potensi pajak dari sektor-sektor yang belum maksimal, seperti sektor digital dan ekonomi informal. Reformasi perpajakan yang komprehensif dan inklusif, yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat, akan sangat menentukan apakah Indonesia dapat meningkatkan rasio pajaknya dan mendukung stabilitas fiskal jangka panjang.
Tax Ratio seharusnya dapat menjadi fokus utama pemerintah untuk terus berbenah diri, salah satunya dengan menggiatkan edukasi perpajakan kepada masyarakat secara luas dengan bahasa yang mudah dipahami. Pemahaman menjadi bekal utama agar wajib pajak dapat memahami kewajiban perpajakannya dan selanjutnya dapat menjalankan kewajibannya secara patuh dan sukarela. Selain itu harus didukung dengan strategi-strategi yang harus dilakukan yaitu mendesain ulang struktur penerimaan, mendesain ulang pendekatan pemajakan, mengevaluasi kebijakan pajak, dan mendesain ulang kelembagaan otoritas pajak. Suatu kebanggaan bisa menerima materi dari pakar ahli secara langsung. Terimakasih bapak Darussalam atas materi yang sangat insightful
Diperlukan political will dari pemerintah untuk mengatasi isu pekerja informal yang kontribusinya belum maksimal terhadap tax ratio meskipun porsi di PDB nya cukup besar. Baik dengan cara mengubah lanskap perekonomian ke arah industri manufaktur sehingga mereduksi masyarakat yang bekerja pada sektor informal khususnya pertanian. Atau dengan memajukan sektor informal khususnya pertanian itu sendiri sehingga memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi yang lebih terhadap penerimaan negara.
Pemaparan yang disampaikan dalam seminar perpajak an ini merupakan bekal sekaligus pondasi yang sangat penting dalam memahami isu terkini yang mendasari p enerapan perpajakan di Indonesia. Pak Darussalam m engajak kita untuk berpikir secara lebih filosofis terkai t dengan kepatuhan perpajakan yang tercermin dalam tax ratio serta improvement apa saja yang dapat dilak ukan dalam reformasi perpajakan
Pembahasan mengenai strategi pemerintahan untuk memperbaiki tax ratio sangatlah relevan dan membuka wawasan kami tentang pentingnya pajak dalam pembangunan negara. Penekanan pada perlunya strategi mendasar menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani isu ini, yang juga mencerminkan keberpihakan kepada rakyat melalui pengelolaan keuangan negara yang lebih baik. Diskusi seperti ini memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang peran pajak bukan hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai alat untuk menciptakan pemerataan dan keberlanjutan ekonomi. Selain itu, acara ini memotivasi generasi muda untuk lebih peduli terhadap isu perpajakan dan terlibat dalam menciptakan solusi inovatif di masa depan.
Materi yang disampaikan dapat menjadi insight baru terkait best practices perpajakan khususnya bagi mahasiswa yang kelak akan memiliki peran dalam perekonomian Indonesia agar dapat memberikan kebijakan yang lebih efisien dan efektif tidak hanya bagi penerimaan negara khususnya bidang perpajakan tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.