PKN STAN

Pemerintahan Prabowo Perlu Strategi Mendasar untuk Perbaiki Tax Ratio

Redaksi DDTCNews | Selasa, 26 November 2024 | 09:45 WIB
Pemerintahan Prabowo Perlu Strategi Mendasar untuk Perbaiki Tax Ratio

Founder DDTC Darussalam dalam seminar perpajakan bertajuk Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum di PKN STAN, Selasa (26/11/2024).

JAKARTA, DDTCNews - Indonesia perlu strategi mendasar untuk memperbaiki kinerja tax ratio. Hingga 2023, angka tax ratio Indonesia masih sebesar 10,31%, jauh di bawah standar internasional menurut IMF, yakni minimal 15%. Angka tersebut menjadi batas ideal bagi Indonesia agar bisa secara mandiri membiayai pembangunannya.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) juga mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan kinerja tax ratio yang relatif rendah. Tax ratio RI masih lebih rendah dari rata-rata 36 negara Asia, bahkan jauh di bawah negara-negara anggota OECD.

"Ini yang mestinya menjadi perhatian kita bersama. Tax ratio Indonesia relatif rendah, bahkan kalau dibandingkan dengan negara OECD, makin jauh ketertinggalan kita," ujar Founder DDTC Darussalam dalam seminar perpajakan bertajuk Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum di PKN STAN, Selasa (26/11/2024).

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Jika dirunut ke belakang, sejak 2010, tax ratio Indonesia memang hanya berkutat di kisaran 9% sampai dengan 12%, kendati penerimaan pajak terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tak cuma itu, rata-rata tax buoyancy Indonesia sejak 2010 hingga 2019 juga hanya sebesar 0,88, kurang dari 1. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa kinerja pengumpulan pajak tidak sebanding dengan kinerja perekonomian Tanah Air.

"Artinya apa? Kita tidak mampu mengambil bagian dari kenaikan PDB untuk meningkatkan penerimaan pajak. Dari 1 kenaikan [PDB], kita hanya bisa ambil 0,88," ujar Darussalam.

Baca Juga:
Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selama ini, khususnya dalam satu dekade terakhir, pemerintah memang telah dan tengah menjalankan reformasi perpajakan yang mencakup 5 pilar pembenahan. Pembenahan tersebut menyentuh bidang sumber daya manusia (SDM), proses bisnis, organisasi, regulasi, dan teknologi informasi berbasis data.

Namun, tampaknya reformasi pajak yang sudah berlangsung tersebut perlu dibarengi dengan strategi mendasar untuk membenahi sistem pajak nasional. Ada 4 langkah yang disodorkan oleh Darussalam.

Pertama, pemerintah perlu mendesain ulang struktur penerimaan pajak. Pajak yang dikumpulkan pemerintah selama ini, jika dibedah secara sektoral berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, bakal terlihat bahwa masih terdapat beberapa sektor perekonomian yang masih kurang dipajaki.

Baca Juga:
Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

Mari kita coba lihat kinerja pada 2022. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor usaha pertanian berkontribusi sekitar 12,4% bagi PDB. Namun demikian, berdasarkan data Kementerian Keuangan, pertanian hanya menyumbang 1,4% terhadap penerimaan pajak. Selain karena faktor informalitas (hard-to-tax sector), ada pengaruh fasilitas pajak untuk pertanian.

Kemudian, sektor usaha pertambangan yang berkontribusi 12,2% terhadap PDB, hanya menyumbang 8,3% dalam penerimaan pajak. Belum optimalnya penerimaan pajak sektor ini mengindikasikan adanya praktik penghindaran pajak serta dugaan maraknya pertambangan ilegal sehingga masuk dalam kelompok shadow economy.

Contoh lagi, sektor konstruksi yang berkontribusi hingga 9,8% dalam struktur PDB, ternyata hanya menyumbang 4,1% terhadap penerimaan pajak. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari faktor masih diberlakukannya skema pajak penghasilan (PPh) final pada sektor usaha konstruksi. Dalam konteks ini, ada policy gap layaknya pemberian fasilitas pajak pada sektor pertanian.

Baca Juga:
PPN Tetap Naik Jadi 12% Per Januari 2025, PPh Final UMKM Diperpanjang

Untuk meningkatkan tax ratio, struktur penerimaan pajak perlu diperbaiki dengan cara mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor yang masih cenderung undertaxed tersebut.

Tak cuma itu, penerimaan pajak Indonesia juga masih lebih banyak ditopang oleh pajak penghasilan (PPh) badan. Sebaliknya, kontribusi orang pribadi terhadap PPh masih cenderung minim. Agar tax ratio Indonesia bisa naik, kontribusi wajib pajak orang pribadi perlu ditingkatkan.

"Kalau kita masih mengandalkan PPh badan, sementara yang selalu kita anut ketika melakukan komparasi adalah negara-negara OECD, ya tentu kita harus sepakat bahwa PPh orang pribadi harus menjadi ujung tombak," ujar Darussalam.

Baca Juga:
Layanan Pajak Bisa Dimonitor Realtime, Coretax Pangkas Biaya Kepatuhan

Kedua, pemerintah perlu mendesain ulang pendekatan pemajakan. Maksudnya, pemajakan yang dianut pemerintah mestinya bergeser dari enforced compliance menuju cooperative compliance. Menurut Darussalam, banyak negara sudah meninggalkan upaya peningkatan kepatuhan pajak melalui enforcement.

Cooperative compliance tersebut, imbuh Darussalam, bisa terwujud melalui penyederhanaan sistem perpajakan dan peningkatan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan pajak.

Ketiga, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan pajak agar sesuai dengan kacamata konsep pajak. Contoh, pemerintah perlu mengembalikan netralitas PPN dengan mengurangi beragam fasilitas pengecualian dan pembebasan yang berlaku saat ini.

Baca Juga:
Dibantu Lurah hingga Camat, Realisasi PBB-P2 Tuban Sudah Tembus Target

Menurut Darussalam, salah satu formula untuk meningkatkan penerimaan PPN adalah dengan menjaga netralitas PPN, yakni dengan meminimalisasi pengecualian pengenaan PPN.

"Awalnya semangat dari teman-teman DJP adalah memperkecil pengecualian PPN. Namun, ketika ini diusung, politiknya adalah kalau kebutuhan pokok tidak dikecualikan, ini akan jadi ramai," ujar Darussalam.

Menurut Darussalam, PPN seharusnya bisa tetap dikenakan terhadap kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat kecil sepanjang kebijakan tersebut dilengkapi dengan earmarking belanja. Lewat earmarking, PPN atas kebutuhan pokok akan langsung dikembalikan ke masyarakat melalui belanja pemerintah.

Baca Juga:
Year End Dinner 2024, DDTC Tanamkan Core Values bagi Seluruh Pegawai

Keempat, pemerintah perlu mendesain ulang kelembagaan otoritas pajak. Menurut Darussalam, otoritas pajak memerlukan fleksibilitas dalam aspek penganggaran dan rekrutmen SDM.

Di banyak negara, otoritas pajak berhak untuk menggunakan anggaran sebesar persentase tertentu dari pajak yang sudah dikumpulkan otoritas. "Dari sisi SDM, perlu ada fleksibilitas untuk memanggil orang-orang terbaik di Indonesia untuk bisa bergabung ke lembaga pajak ini dengan remunerasi yang tidak kalah dengan yang ada di luar," ujar Darussalam.

Sejalan dengan hal tersebut, pentingnya isu perpajakan di era pemerintahan Prabowo juga turut menjadi perhatian DDTC. Baru-baru ini, DDTC menerbitkan 5 buku terbaru yang dapat menjadi panduan bagi publik untuk belajar perpajakan dan memahami arah kebijakan ke depan.

Baca Juga:
World Bank Soroti Masalah Ketidakpatuhan Wajib Pajak di Indonesia
  1. Buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.
  2. Buku DDTC Indonesian Tax Manual 2024: Navigating the Dynamics of Tax Regulations.
  3. Buku DDTC Indonesian Tax Manual 2024: Menelusuri Dinamika Peraturan Perpajakan.
  4. Buku Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
  5. Buku DDTC Indonesian Transfer Pricing Manual (DDTC ITPM) 2024.

Untuk Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran, buku ini relevan diletakkan dalam konteks Kabinet Merah Putih. Terlebih, gagasan penulis menyentuh agenda perpajakan yang telah diusung Prabowo-Gibran dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat, 17 Program Prioritas, ataupun Asta Cita.

Buku tersebut juga merupakan hasil kolaborasi ahli dan profesi, mulai dari praktisi pajak, akademisi, aparatur sipil negara (ASN), konsultan pajak, wiraswasta, jurnalis, karyawan swasta, hingga mahasiswa. Artinya, gagasan-gagasan kaya perspektif, baik dari sisi otoritas maupun wajib pajak sekarang dan masa depan.

Sebagai tambahan informasi, hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 28 buku. Rencananya, sampai dengan akhir 2024, DDTC akan melengkapinya menjadi 30 buku.

Baca Juga:
Kolaborasi DJP dan PERTAPSI Sumatera Utara I, Beri Edukasi Coretax

Tertarik untuk memiliki salah satu buku terbitan DDTC? Nah, dalam seminar yang diadakan di PKN STAN ini, DDTC juga membagikan 30 buku terbitan terbaru secara gratis! Ada 5 buku DDTC Indonesian Tax Manual 2024: Menelusuri Dinamika Peraturan Perpajakan, 20 buku Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilani, dan 5 buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.

Caranya, scroll berita ini ke bawah dan temukan kolom komentar. Kemudian, isikan komentar terbaik Anda mengenai topik yang didiskusikan dalam seminar Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Kepastian Hukum ataupun komentar mengenai keseluruhan acara. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

nur farida liyana 26 November 2024 | 10:43 WIB

Banyak isu sosial yang harus dikelola berkaitan dengan peningkatan Tax Ratio, dikarenakan masih banyak masyarakat yang hard to tax. Terima kasih atas pencerahan dari DDTC

ahmad dinar 26 November 2024 | 10:43 WIB

Artikel yang konstruktif! Penekanan pada pentingnya peningkatan tax ratio benar-benar relevan untuk mendukung pembangunan nasional. Analisis terkait kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap penerimaan pajak sangat membuka mata. Semoga pemerintah dapat mengimplementasikan strategi mendasar yang efektif untuk memperbaiki kinerja pajak dan mencapai standar internasional. Terima kasih atas insight yang sangat berharga!

Aji Muhamad Restu 26 November 2024 | 10:43 WIB

Kegiatan yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan pendalaman ilmu terkait perpajakan bagi seluruh peserta yang mengikuti. Edukasi dan sosialisasi yang dilakukan dengan pemaparan materi dan pembahasan atas isu-isu yang terjadi saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan awareness kita selaku bagian dari pemerintahan untuk dapat memahami hal-hal yang perlu untuk menjadi bekal saat kelak terjun langsung dalam pengimplementasian ke masyarakat.

EVI ANDANI 26 November 2024 | 10:42 WIB

Terima kasih atas penyampaian materi yang luar biasa terkait revolusioner pajak, Pak. Keempat poin yang disampaikan sangat lengkap dalam rangka meningkatkan tax ratio. Pemahaman baru yang kami dapatkan sangat bermanfaat dan menambah wawasan di dunia perpajakan.

Nurun Hardialannuri 26 November 2024 | 10:41 WIB

saya setuju dengan ucapan Bapak Darussalam. sebenarnya dalam upaya peningkatan tax ratio, tidak semerta hanya tentang tarif. berapapun tarif pajak yang dikenakan, dapat tidak berpengaruh kepasa tax ratio jika tidak ada perluasan pemajakan pada sektor yang belum tersentuh, dan kepatuhan perpajakan yang belum memadai. hal ini senada dengan narasumber yang bertukar pendapat dengan saya, penerimaan bukan hanya tentang tarif, tapi juga kepatuhan. banyak sektor yang belum tersentuh dengan adil atau mendalam, seperti pertanian, keuangan digital, dan shadow economy. memang mulai ada upaya dari pemerintah untuk menggapai sektor tersebut, seperti penerbitan UU P2SK, PMK 68, Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019, namun memang, baru saja diterbitkan dan belum mencakup banyak sektor dan objek potensial.

Ricky 26 November 2024 | 10:40 WIB

Artikel yang sangat mencerahkan! Analisis mendalam tentang tantangan tax ratio Indonesia membuka wawasan penting. Harus diakui, reformasi perpajakan yang sudah berjalan merupakan langkah baik, tetapi strategi mendasar seperti yang disampaikan sangat dibutuhkan. Semoga pemerintah bisa fokus meningkatkan kontribusi pajak dari sektor-sektor strategis dan memberantas praktik penghindaran pajak. Terima kasih atas informasinya, sangat relevan untuk pembangunan Indonesia ke depan!

30. Ricky Dina R 26 November 2024 | 10:39 WIB

Artikel yang sangat informatif dan menggugah kesadaran tentang pentingnya peningkatan tax ratio di Indonesia. Penjelasannya mendalam, terutama mengenai kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDB dan penerimaan pajak. Semoga pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dapat mengambil langkah strategis untuk mengatasi tantangan ini. Reformasi perpajakan yang menyentuh SDM, teknologi, dan regulasi perlu terus didorong agar Indonesia bisa mencapai standar internasional. Terima kasih DDTC atas insight yang luar biasa!

PUTRI ASMELIA 26 November 2024 | 10:39 WIB

Pandangan Pak Darussalam dengan latar belakang beliau sebagai praktisi perpajakan sangat dibutuhkan bagi kami civitas PKN STAN sebagai akademisi. Dari materi yg dipaparkan Pak Darussalam saya bisa mencari banyak research gap sebagai bahan penelitian saya selanjutnya. Salah dua nya yaitu insentif PPN yang tidak tepat sasaran, dan kepastian pertukaran informasi antara wajib pajak dengan DJP. Terima kasih Pak Darus, so insighful!

Muhammad Raihan R 26 November 2024 | 10:38 WIB

Artikel ini merupakan gambaran ideal mengenai kondisi perpajakan di Indonesia. Target tax ratio 23% awalnya adalah penjawantahan optimisme dalam mencapai Indonesia emas 2045. Namun, saat mendengarnya banyak pihak merasa bahwa target tersebut adalah utopia ditengah gersangnya kondisi pajak di Indonesia. Artikel diatas cukup lengkap membahas latar belakang, penyebab dan solusi untuk menaikkan tax ratio perpajakan. Besar harapan pemangku kepentingan juga mempertimbangkan masukan tersebut untuk peningkatan kepatuhan yang lebih baik

Nadya Fenta 26 November 2024 | 10:38 WIB

Pembahasan yg sangat menarik dan relevan saat ini terkait strategi perbaikan tax ratio. Peningkatan tax ratio bukan sekadar soal menambah penerimaan pajak, tetapi lebih kepada membangun kepercayaan antara wajib pajak dan pemerintah. Semoga strategi yang diusulkan dapat membawa sistem perpajakan kita menjadi lebih adil dan efektif👍👍

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:13 WIB KANWIL DJP JAKARTA KHUSUS

Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Senin, 23 Desember 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak