Presiden Joko Widodo (kanan) dan Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (5/2/2021). (foto: hasil tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin untuk bersama-sama melawan diskriminasi kelapa sawit yang saat ini tengah terjadi di Uni Eropa.
Jokowi menilai isu diskriminasi kelapa sawit menjadi salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan dengan PM Malaysia. Menurutnya, upaya perlawanan dalam diskriminasi sawit akan lebih maksimal jika dilakukan bersama-sama dengan negara penghasil sawit lainnya, seperti Malaysia.
"Indonesia akan terus berjuang melawan diskriminasi terhadap sawit dan perjuangan tersebut akan lebih optimal jika dilakukan bersama, dan Indonesia mengharapkan komitmen yang sama dengan Malaysia mengenai isu sawit ini," katanya, Jumat (5/2/2021).
Saat ini, Indonesia telah melayangkan kepada Uni Eropa mengenai diskriminasi sawit tersebut melalui Organisasi Pedagang Dunia (World Trade Organization/WTO) sejak 2019. Gugatan itu bernomor DS 593.
Sementara itu Muhyiddin menegaskan Malaysia memiliki sikap yang sama dengan Indonesia terkait dengan diskriminasi kelapa sawit, terutama oleh Uni Eropa dan Australia. Malaysia siap bekerja sama dengan Indonesia untuk melawan diskriminasi tersebut.
"Campaign antiminyak sawit ini adalah tidak berasas dan tidak menggambarkan industri sawit dunia, serta mencanggah dengan komitmen EU kepada WTO mengenai amalan perdagangan bebas," ujarnya.
Muhyiddin menyatakan Malaysia telah mengikuti jejak Indonesia melayangkan gugatan kepada WTO soal diskriminasi kelapa sawit tersebut pada 15 Januari 2021. Kepada Jokowi, ia mengusulkan agar Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) diperkuat.
Dia berharap permasalahan kelapa sawit tersebut segera berakhir. Hal ini dikarenakan terdapat jutaan petani sawit kecil yang saat ini menggantung hidupnya pada komoditas kelapa sawit, baik di Malaysia maupun Indonesia.
Uni Eropa saat ini tengah memberlakukan pembatasan impor minyak kelapa sawit dari para produsen di dunia, termasuk Indonesia dan Malaysia. Kebijakan itu mempertimbangkan Renewable Energy Directive II (RED II) yang telah diratifikasi menjadi UU Energi Terbarukan di Uni Eropa.
Beleid tersebut memerintahkan negara-negara Uni Eropa memperbesar porsi bauran energi yang dapat diperbarukan dengan mengurangi konsumsi energi yang tidak ramah lingkungan, seperti minyak kelapa sawit. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Sebenarnya saya tidak tau pasti apakah UU Energi terbarukan yg dikeluarkan Uni Eropa merupakan tindakan diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit atau bukan. Yang jelas, acuan UU tersebut mengarahkan untuk menggunakan energi yang ramah lingkungan. Karena minyak kelapa sawit bukanlah energi yg ramah lingkungan, hal itu menjadi masalah sehingga terjadi pemboikotan. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit tentu saja terkena dampaknya. Total pendapatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit (BPDPKS) dari pungutan ekspor sawit dari 2015 - 2020 mencapai Rp51 triliun. Itu bukan angka yang kecil. Apalagi mengingat bahwa banyak petani kecil yang menggantungkan hidupnya sebagai buruh di kebun sawit. Tentu saja Indonesia merasa dirugikan atas hal itu.