Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menambah daftar kelompok usaha yang bisa memanfaatkan fasilitas restitusi dipercepat. Hal tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (26/8/2019).
Penambahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK.03/2019. Beleid yang diundangkan dan mulai berlaku pada 19 Agustus 2019 ini mengubah beberapa ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Keuangan No.39/PMK.03/2018.
Dalam beleid itu, pemerintah menambah daftar pengusaha kena pajak yang melakukan kegiatan tertentu dan ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah. Seperti diketahui, PKP berisiko rendah dapat memanfaatkan fasilitas restitusi dipercepat.
Pertama, pedagang besar farmasi. Kedua, distributor alat kesehatan. Ketiga, perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham lebih dari 50%, yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BUMN induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Pedagang besar farmasi besar yang bisa memanfaatkan fasilitas restitusi dipercepat harus memiliki Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi serta Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik. Selanjutnya, distributor alat kesehatan wajib memiliki Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan serta Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti risiko pelebaran shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – penerimaan pajak. Kinerja pajak yang hingga akhir Juli 2019 hanya tumbuh 2,9% menjadi alarm bagi pemerintah untuk meningkatkan extra effort.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan kebijakan ini untuk membantu Program Jaminan Kesehatan Nasional serta likuiditas Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan Pemungut PPN.
Pasalnya, para pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan acap kali bertransaksi dengan rumah sakit negeri yang merupakan pemungut PPN. Dua kelompok usuha ini secara langsung dan tidak langsung merupakan mitra Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Melalui restitusi PPN yang dipercepat, pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan akan terbantu likuiditasnya. Otoritas pajak mengharapkan fasilitas ini dapat menjadi instrumen dalam mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional.
“Kami harap likuiditas mereka terbantu dan mendukung program JKN,” kata Hestu.
Untuk mendapatkan fasilitas restitusi dipercepat, perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN wajib melampirkan Laporan Keuangan Konsolidasi BUMN induk yang telah diaudit oleh auditor independen.
“Untuk tahun pajak terakhir sebelum permohonan diajukan,” demikian bunyi penggalan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK.03/2019.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan rendahnya penerimaan pajak merupakan dampak dari dinamika eksternal. Dinamika tersebut mulai dari perlambatan aktivitas impor hingga normalisasi harga komoditas. Selain itu, ada tekanan dari sisi restitusi.
“Perlu menjadi perhatian bersama bahwa kinerja extra effort utama kita belum cukup baik, diantaranya dapat dilihat dari effort pengawasan yang negatif 28,8% dan secara total effort negatif 15,5%,” ujarnya.
Pemerintah merilis aturan yang memberikan relaksasi pajak penghasilan atas bunga obligasi dalam bentuk DIRE, DINFRA dan KIK EBA melalui PP No.55/2019. Kebijakan yang diarahkan untuk menarik minat investor pada instrumen investasi dibidang infrastruktur.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan secara prinsip ketiga instrumen investasi tersebut serupa dengan reksa dana. Oleh karena itu, pemerintah merilis aturan terbaru yang mengakomodasi ketiga instrumen tersebut agar mendapat perlakuan pajak atas bunga atau PPh final yang sama dengan invetasi reksadana.
“Kita persamakan ketiga [instrumen investasi] itu dengan reksa dana. Jadi semua pembiayaan terkait infrastruktur dikenai 5%,” kata Robert.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan banyaknya pelaku usaha di industri kelapa sawit yang melanggar undang-undang. Ini terlihat dari hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) BPK atas perizinan, sertifikasi, dan implementasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Pelanggaran itu berupa masih ada pengusaha yang belum memiliki guna usaha, banyaknya perusahaan yang belum membangun lahan plasma, masih ada lahan perkebunan yang tumpang tindih dengan pertambangan, serta ada perusahaan yang menjalankan perkebunan di atas hutan konservasi, hutan lindung, dan taman nasional. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.