KEBIJAKAN PAJAK

UU HPP Jadi Jembatan Menuju Sistem Pajak yang Lebih Modern

Muhamad Wildan | Jumat, 21 Januari 2022 | 11:34 WIB
UU HPP Jadi Jembatan Menuju Sistem Pajak yang Lebih Modern

Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) Denny Vissaro dalam webinar bertajuk Upgrade Your Taxation Game: How The New UU HPP Affects VAT, Income Tax, and Carbon Taxation yang diselenggarakan oleh Prodi Akuntansi Universitas Bunda Mulia, Jumat (21/1/2022).

JAKARTA, DDTCNews - Terbitnya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan respons atas banyaknya relaksasi perpajakan pada UU Cipta Kerja dan upaya konsolidasi fiskal setelah pandemi.

Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) Denny Vissaro mengatakan UU Cipta Kerja telah memberikan banyak relaksasi atau keringanan pajak guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Namun demikian, lanjutnya, pemerintah juga tetap memerlukan penerimaan pajak yang mumpuni sehingga dapat mendanai kebutuhan pembangunan dan memperbaiki defisit anggaran pada masa yang akan datang.

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

"Untuk itu, UU HPP menjadi jembatan bagi sistem pajak Indonesia menuju sistem yang lebih modern," katanya dalam webinar bertajuk Upgrade Your Taxation Game: How The New UU HPP Affects VAT, Income Tax, and Carbon Taxation, Jumat (21/1/2022).

Upaya optimalisasi penerimaan pajak dan pembagian beban pajak yang lebih adil tercermin pada ketentuan-ketentuan baru UU PPh yang direvisi melalui UU HPP. Contoh, pengenaan tarif PPh orang pribadi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar dan ditetapkannya natura sebagai objek pajak.

Denny menilai tarif maksimal PPh orang pribadi yang berlaku di Indonesia masih tergolong rendah. Beberapa negara maju bahkan menerapkan tarif PPh orang pribadi hingga lebih dari 50% untuk lapisan penghasilan tertinggi.

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

"Indonesia sesungguhnya punya ruang untuk menambah bracket PPh orang pribadi untuk penghasilan Rp5 miliar ke atas. Berdasarkan data, ini tidak sampai 1% dari jumlah wajib pajak," ujarnya dalam acara yang diselenggarakan oleh Prodi Akuntansi Universitas Bunda Mulia.

Denny menambahkan tarif 35% ini juga diharapkan dapat memperbaiki kontribusi PPh orang pribadi di Indonesia yang tergolong masih rendah. Di negara maju, PPh orang pribadi berkontribusi lebih besar terhadap keseluruhan penerimaan pajak ketimbang PPh badan.

Menurutnya, kontribusi PPh orang pribadi yang tinggi akan menciptakan penerimaan pajak yang stabil dan memiliki daya tahan di tengah krisis.

Baca Juga:
Jasa Travel Agent Kena PPN Besaran Tertentu, PM Tak Dapat Dikreditkan

"PPh badan cenderung menurun di tengah krisis, kalau digeser ke PPh orang pribadi ini tentu akan lebih bagus," ujar Denny.

Terkait dengan natura, UU HPP menetapkan natura dan kenikmatan sebagai objek pajak. Sebelum UU HPP, banyak natura dan kenikmatan tergolong mewah yang tidak dapat dipajaki karena UU PPh mengecualikan natura dari objek pajak.

Pengenaan pajak atas natura diharapkan dapat menciptakan sistem PPh orang pribadi yang lebih adil sekaligus mengurangi ketimpangan.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

Melalui peraturan menteri keuangan (PMK), terdapat 5 jenis natura yang tetap dikecualikan dari objek pajak. Pertama, makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai. Kedua, natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu.

Ketiga, natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan. Keempat, natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai APBN, APBD, dan/atau APBDes. Kelima, natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak