Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memberikan sinyal untuk tetap menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 2025. Namun, kepastiannya tetap berada di tangan pemerintahan baru di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin (19/8/2024).
Sinyal soal kenaikan tarif PPN tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2025 pada akhir pekan lalu. Menkeu menyampaikan bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto sudah menyadar penuh ketentuan dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Melalui beleid itu lah, tarif PPN ditetapkan naik menjadi 12% mulai 2025.
"Bapak presiden terpilih maupun presiden sekarang sudah sangat fully aware mengenai UU HPP itu. Nanti akan kita lihat bagaimana," katanya.
Sri Mulyani mengatakan kebijakan dalam UU HPP, termasuk soal tarif PPN, telah dibahas dalam rapat kabinet. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo pun menyadari sepenuhnya soal ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Dia menjelaskan pemerintah dalam menyusun kebijakan PPN akan memperhatikan beberapa hal antara lain target penerimaan, potensi ekonomi, rasio perpajakan, serta upaya intensifikasi dan ekstensifikasi.
UU PPN s.t.d.t.d UU HPP telah mengatur kenaikan tarif PPN menjadi sebesar 12%. Tarif PPN sebesar 11% mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, sedangkan tarif sebesar 12% bakal mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
Meski demikian, UU HPP juga memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% lewat penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan bersama DPR.
Selain ulasan mengenai kenaikan tarif PPN, masih ada pemberitaan menarik lainnya pada hari ini. Di antaranya, postur APBN 2025, prioritas ekstensifikasi cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), dan strategi pemerintah dalam memajaki seluruh sektor formal.
Pemerintah mematok target penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2025. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan outlook APBN 2024 sebesar Rp 2.218,4 triliun.
Ketua Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa target penerimaan perpajakan tersebut sudah memperhitungkan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% di 2025.
Sepertinya PPN (12%) itu baru naik nanti di 2025, mungkin sudah dihitung (ke penerimaan)," ujar Dasco kepada awak media di Gedung Parlemen. (Kontan)
Pemerintah menargetkan defisit anggaran pada 2025 senilai Rp616,2 triliun pada RAPBN 2025. Presiden Jokowi mengatakan postur RAPBN 2025 dirancang dengan defisit hanya senilai Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Angka di atas berasal atas pendapatan negara senilai Rp2.996,9 triliun dan belanja negara Rp3.613,1 triliun.
Pendapatan negara yang senilai Rp2.996,9 triliun utamanya akan ditopang oleh penerimaan perpajakan senilai Rp2.490,9 triliun. Selain itu, ada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp505,4 triliun. Sedangkan soal belanja negara, alokasinya untuk belanja pemerintah pusat senilai Rp2.693,2 triliun dan transfer ke daerah Rp919,9 triliun. (DDTCNews)
Wajib pajak orang pribadi UMKM yang menjalankan kewajiban perpajakannya dengan tarif PPh final 0,5% tidak perlu lagi melaporkan SPT Masa setiap bulannya.
Wajib pajak yang sudah menyetorkan pajaknya dengan mekanisme setor sendiri dianggap sudah menyampaikan SPT PPh sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) yang tercantum pada surat setoran pajak (SSP).
"Terkait SPT Masa, apabila termasuk UMKM maka jika sudah bayar PPh 0,5% tidak perlu pelaporan lagi. Cukup laporkan SPT Tahunannya saja berdasarkan pencatatan peredaran bruto," cuit Kring Pajak. (DDTCNews)
Pemerintah memprioritaskan penambahan barang kena cukai (BKC) berupa minuman bergula dalam kemasan (MBDK) ketimbang produk plastik pada tahun depan.
Pada dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 tertulis ekstensifikasi BKC terhadap MBDK menjadi salah satu kebijakan untuk mendukung penerimaan negara. Kebijakan ini juga untuk mengendalikan konsumsi masyarakat terhadap minuman tinggi gula.
"Kebijakan untuk mendukung penerimaan, melalui ... kebijakan ekstensifikasi cukai secara terbatas pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk menjaga kesehatan masyarakat," bunyi dokumen tersebut. (DDTCNews)
Pemerintah mencatat mayoritas pelaku usaha sektor formal yang sudah terdaftar dalam sistem administrasi pajak masih belum bisa dipajaki.
Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2025, pemerintah mencatat kebanyakan usaha formal di Indonesia merupakan UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp300 juta. Akibatnya, omzet-omzet tersebut tidak dapat dipajaki.
"Pelaku bisnis formal yang terdaftar sebagian besar memiliki peredaran usaha yang kecil/menengah (kurang dari Rp300 juta) sehingga tidak termasuk dalam golongan yang dapat dikenai pajak," tulis pemerintah dalam nota keuangan. (DDTCNews) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.