Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
JAKARTA, DDTCNews – Otoritas fiskal menegaskan telah menyiapkan mitigasi penurunan penerimaan pajak jika omnibus law perpajakan berlaku. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (16/12/2019).
Beberapa rencana kebijakan yang berpotensi menggerus penerimaan negara adalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 20%, penurunan/penghapusan PPh atas dividen, relaksasi hak pengkreditan pajak masukan, dan berbagai fasilitas lainnya dalam omnibus law.
“[Hitungan potential loss] nanti, bagaimana pembahasannya. Kami tahu dulu berapa persis tarif [PPh badan] yang ditentukan. Yang jelas, mitigasi penurunan penerimaan pajak pasti disiapkan,” ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Selain itu, beberapa media nasional lainnya juga menyoroti masalah risiko kenaikan target pertumbuhan penerimaan pajak pada 2020 setelah shortfall pada tahun ini diperkirakan melebar menjadi sekitar Rp140 triliun sampai Rp200 triliun.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Rofyanto Kurniawan mengatakan dalam omnibus law sudah diatur mengenai pengetatan administrasi pajak perusahaan yang berbasis digital. Hal ini diperkirakan akan menjadi salah satu mitigasi potential loss.
Tidak hanya itu, pemerintah juga berencana memperbaiki layanan pajak melalui core tax system dibarengi dengan penyusunan ulang formulasi sanksi administrative. Adanya perbaikan administrasi diharapkan akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
“Sehingga mampu mengimbangi pengurangan pajak ke depan,” katanya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat dalam sisa tahun ini, pemerintah seharusnya mulai fokus untuk strategi tahun depan. Bagaimanapun, sambungnya, hal yang perlu diwaspadai dari penerapan omnibus law justru mengenai dampaknya bagi perilaku wajib pajak dan penerimaan jangka pendek.
Pemerintah perlu mempersiapkan skenario pendukung guna menjamin bahwa omnibus law tersebut akan berpengaruh secara signifikan bagi ekonomi tanpa mengganggu penerimaan tahun berjalan.
Oleh karena itu diperlukan strategi baru yang dinamakan ‘Relaksasi-Partisipasi’. Artinya, relaksasi pajak harus dilakukan secara bersyarat dan mengharapkan timbal balik secara langsung berupa partisipasi masyarakat dalam sistem pajak (ekonomi). Penting untuk digarisbawahi bahwa relaksasi dalam sistem pajak mencakup hukum, kebijakan, dan/atau administrasinya.
Pembahasan mengenai tantangan dan outlook pajak 2020, sekaligus penjelasan terkait strategi ‘Relaksasi-Partisipasi’, dapat Anda baca di majalah InsideTax edisi ke-41 bertajuk ‘Antara Relaksasi dan Mobilisasi’. Anda bisa men-download InsideTax secara gratis di sini.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengaku cukup yakin akan mampu menjawab tantangan kenaikan target pertumbuhan penerimaan pajak 2020 setelah ada proyeksi pelebaran shortfall tahun ini. Kenaikan diproyeksi tembus di atgas 20%.
“DJP saat ini punya banyak data baik dari dalam maupun luar negeri. Strategi yang sudah kami susun untuk 2020 itu kami yakini mampu memperbaiki kinerja penerimaan pajak,” katanya. Strategi itu termasuk peningkatan kepatuhan sukarela serta pengawasan dan penegakan hukum yang adil.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan dengan mempertimbangkan shortfall penerimaan pajak 2019 yang cukup tinggi, situasi ekonomi, serta strategi pajak yang akan dijalankan ke depan, penerimaan pajak 2020 diprediksi berkisar Rp1.431 triliun—Rp1.462 triliun.
“Artinya, realisasi penerimaan hanya sekitar 87,1%—89,0% dari target. Penerimaan pajak diperkirakan hanya akan tumbuh 8,4%—10,9% dari realisasi 2019,” katanya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.