SISTEM PAJAK

Simplifikasi Sistem Pajak yang Kompleks

Redaksi DDTCNews | Rabu, 21 September 2016 | 17:10 WIB
Simplifikasi Sistem Pajak yang Kompleks

MENGAPA sistem pajak di berbagai belahan dunia begitu kompleks? Lantas apakah sistem pajak yang sedemikian kompleks dapat disederhanakan (tax simplification)? Pertanyaan tersebut nampaknya melatarbelakangi para penulis dalam buku ini, yang dikemas sedemikian rupa oleh Evans, Krever, dan Mellor.

Joel Slemrod, profesor di University of Michigan mengawali buku ini dengan mengangkat syair dalam salah satu lagu penyanyi pop Amerika Avril Lavigne, “Why’d You Have to Go and Make Things So Complicated?” sebagai judul bab pertama yang ditulisnya.

Sebelum berbicara mengenai rumitnya sistem pajak, Slemrod menjelaskan kesederhanaan (simplicity) adalah salah satu dari prinsip yang diinginkan dalam mengenakan pajak. Namun, konsep ini seringkali tidak terlalu diperhatikan dalam merancang suatu sistem pajak. Konsep lain seperti keadilan (equity) dan efisien (efficiency) seringkali lebih diutamakan.

Baca Juga:
Download! PDF Buku Baru DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Slemrod menjelaskan beberapa alasan mengapa sistem pajak menjadi begitu kompleks. Prinsip keadilan yang ada dalam sistem pajak, baik secara horizontal maupun vertikal menjadi salah satu alasan dari timbulnya kompleksitas pajak.

Salah satu contoh, kriteria jenis penghasilan yang dipajaki dalam sistem Pajak Penghasilan (PPh). Definisi terhadap sejauh mana suatu tambahan kemampuan ekonomis dikategorikan sebagai penghasilan, dianggap merumitkan sistem pajak. Sistem pun menjadi semakin rumit dengan adanya konsep ‘keadilan’ dalam upaya menentukan tarif pajak terhadap penghasilan tersebut.

Banyak negara sudah mencoba melakukan simplifikasi sistem pajak, namun tidak banyak yang berhasil. Dengan mengumpulkan buah-buah pemikiran dari kegagalan simplifikasi sistem pajak, Slemrod mencoba menerjemahkan kompleksitas tersebut ke dalam sebuah pengukuran.

Baca Juga:
Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Salah satunya dengan mengaitkan biaya pemungutan (cost of collection) sebagai tolak ukur. Total biaya tersebut adalah biaya yang digabungkan dari jumlah pengeluaran otoritas dalam memungut pajak, ditambah nilai dari waktu dan uang yang dikorbankan oleh wajib pajak, dan setiap beban biaya yang ditanggung oleh pihak ketiga dalam memungut pajak (withholding tax). Akan tetapi, Slemrod berpendapat cost of collection adalah suatu indikator yang sulit diukur.

Pada bab keempat dalam buku ini, David Ulph memberikan kerangka pemikiran yang berbeda dalam mengukur kompleksitas. Ulph tidak memberikan jawaban penuh bagaimana mengukur kompleksitas sistem pajak, tetapi lebih menekankan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa yang seharusnya diukur dan alasannya. Kemudian jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut dijadikan panduan.

Umumnya, sistem pajak yang diterapkan jelas mengatur tarif pajak yang bervariasi untuk objek pajak dari aktivitas bisnis (transaksi) yang bervariasi pula. Berbagai ragam aturan inilah yang akan menjadi beban bagi wajib pajak.

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Lalu, ditambah dengan sekelumit prosedur administrasi yang harus ditempuh wajib pajakdalam menjalankan kepatuhannya (tax compliance). Sebagai konsekuensinya, wajib pajak yang paham atau mampu menafsirkan keberagaman aturan tersebut akan cenderung melakukan transaksi di negara dengan sistem yang memiliki fitur yang lebih relevan bagi mereka.

Ulph menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam sistem pajak terdapat dua buah fitur yang kompleks, yaitu: kompleksitas secara desain (design complexity) dan kompleksitas secara operasional (operational complexity).

Dalam mendesain sistem pajak, harusnya ada proporsi untuk masing-masing jenis pajak. Sebagai contoh, Ulph mengilustrasikan kompleksitas yang ada dalam sistem pajak yang mengatur penerapan tarif PPh dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Baca Juga:
DDTC Segera Terbitkan Buku Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Setiap negara bebas menentukan komposisi dari tarif PPh dan PPN-nya, tergantung kebijakan dari pemangku kepentingan yang ada di balik desain tersebut. Dalam menyusun kebijakan, hal yang pertama harus diketahui adalah apa tujuan dari penerapan tarif tersebut, apakah suatu hal yang fundamental atau justru tidak penting (unnecessarily complexity).

Lalu, fitur berikutnya yang secara operasional menjadi kompleks adalah bagaimana wajib pajak mematuhi atau menjalankan sistem tersebut. Ulph mengambil contoh dengan menjelaskan petunjuk teknis dan pelaksanaan yang ada atau dijelaskan dalam sistem pajak haruslah menggunakan bahasa yang sederhana atau mudah dipahami oleh wajib pajak.

Ulph menutup bab dengan bagaimana mengukur tax complexity melalui pemilihan salah satu indeks -yang terdapat pada data yang diperolehnya dari Office of Tax Simplification (OTS) di Australia- sebagai cara yang diusulkan.

Baca Juga:
Fokus Reformasi, Sri Mulyani Ingin Sistem Pajak Lebih Berkepastian

Selain tulisan Slemrod dan Ulph, pembaca dapat mempelajari lebih lanjut tentang cara menyederhanakan sistem pajak yang kompleks. Beberapa kontributor telah melakukan studi tax simplification yang dijalankan di Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan beberapa negara berkembang.

Cara-cara untuk melakukan tax simplification semakin lengkap dengan adanya laporan dari Bank Dunia 'Paying Taxes' yang menawarkan indeks yang dapat digunakan untuk melakukan reformasi pajak dan menjelaskan bagaimana sistem pajak yang lebih baik dapat dikembangkan.

Buku terbitan Kluwer Law International ini ditujukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui seberapa kompleks suatu sistem pajak dan bagaimana konsekuensinya serta bagaimana sistem tersebut dapat disederhanakan. Evans cs berharap buku ini dapat menjadi sebuah peninggalan yang bermanfaat bagi akademisi pajak, praktisi pajak, dan otoritas pajak, serta pemerhati pajak. Tertarik membaca buku ini? Silakan kunjungi DDTC Library. (Amu)


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 10:45 WIB HUT KE-17 DDTC

Download! PDF Buku Baru DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Selasa, 08 Oktober 2024 | 16:00 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Segera Terbitkan Buku Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN