BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Muhamad Wildan | Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Salah satu judul artikel perpajakan dalam buku berjudul The 'Pillar Two' Global Minimum Tax.

SETELAH dibahas bertahun-tahun, yurisdiksi-yurisdiksi anggota Inclusive Framework akhirnya berhasil mencapai kesepakatan atas Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) untuk memberlakukan pajak korporasi minimum secara global.

Berkat rezim multilateral tersebut, yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) yang notabene merupakan negara maju berhak mengenakan top-up tax atas laba di yurisdiksi sumber yang dikenai pajak rendah, yaitu di bawah tarif efektif minimum sebesar 15%.

Guna mengakomodasi kepentingan negara berkembang, Pilar 2 memberikan hak kepada yurisdiksi sumber untuk mengenakan top-up tax terlebih dahulu melalui mekanisme qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT).

Baca Juga:
Trump Tarik AS dari Kesepakatan Pajak Global, Ini Kata Sri Mulyani

Pilar 2 juga memuat klausul substance-based income exclusion (SBIE) yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk memberikan insentif pajak guna menarik penanaman modal ke yurisdiksi masing-masing.

Dari deskripsi singkat di atas, rezim pajak minimum global seakan-akan sudah memberikan perlakuan yang adil bagi negara berkembang. OECD pun berulang kali menegaskan konsensus atas Pilar 2 telah dicapai melalui negosiasi yang inklusif serta melibatkan negara maju dan negara berkembang.

Namun, apakah konsensus yang sudah tercapai lantas dapat memberikan hasil yang adil bagi negara berkembang? Rita de la Feria, salah satu penulis dalam buku dengan judul The 'Pillar Two' Global Minimum Tax memberikan pandangannya terkait dengan konsensus global tersebut.

Baca Juga:
Pembaruan Objek Penelitian PKP Berisiko Rendah untuk Cairkan Restitusi

Pada bab bertajuk The Perceived (Un)fairness of the Global Minimum Corporate Tax Rate, Feria mengatakan pajak minimum global bisa dikatakan memberikan hasil yang adil bila hanya dilihat menggunakan sudut pandang sempit.

Misal, adanya QDMTT dalam ketentuan pajak minimum global memberikan ruang bagi negara berkembang untuk mengenakan top-up tax sebelum hak pemajakan atas laba yang kurang dipajaki tersebut diambil oleh negara maju.

Hadirnya pajak minimum global juga akan memperkuat posisi tawar negara berkembang di hadapan perusahaan multinasional. Sebab, pajak minimum global memungkinkan negara berkembang untuk menarik penanaman modal asing tanpa harus mengorbankan kedaulatan pajaknya.

Baca Juga:
Beban Pajak Minimum Global Bisa Ditekan dengan SBIE, Apa Itu?

Namun, dalam sudut pandang yang lebih luas, negara berkembang tetaplah berada pada posisi yang tidak diuntungkan dalam konteks persaingan antarnegara untuk menarik penanaman modal asing.

Berlakunya pajak minimum global sama sekali tidak mengurangi intensitas persaingan antarnegara dalam menarik investasi. Pajak minimum global justru mempersempit ruang negara berkembang untuk menawarkan insentif PPh badan guna menarik investasi.

Akibatnya, insentif yang ditawarkan negara untuk menarik investasi bakal bergeser dari insentif PPh badan ke insentif-insentif dalam bentuk lain, seperti pelonggaran ketentuan ketenagakerjaan hingga pemberian insentif pajak selain PPh badan.

Baca Juga:
Sri Mulyani: Pajak Minimum Global Bikin Iklim Investasi Lebih Sehat

Dengan demikian, negara-negara berkembang tetap harus menawarkan beragam insentif dalam rangka menarik investasi. Sebaliknya, negara-negara maju bisa menarik investasi tanpa harus menawarkan insentif.

Negara maju memiliki kelebihan untuk menarik investasi hanya dengan mengandalkan keunggulan komparatifnya (comparative advantage) masing-masing.

Dari sisi proses, konsensus atas pajak minimum global tidaklah dicapai melalui proses yang adil meski rezim tersebut dibahas melalui Inclusive Framework yang melibatkan negara maju dan negara berkembang.

Baca Juga:
Pajak Minimum Global Timbulkan Pajak Tambahan, Begini Cara Hitungnya

Ketidakadilan timbul lantaran setiap negara yang tergabung dalam Inclusive Framework tidak punya posisi tawar yang sama. Negosiator yang mewakili negara berkembang pun tidak memiliki kapabilitas teknis yang cukup untuk membahas detail dari pajak minimum global.

Sepanjang pembahasan, pandangan-pandangan yang disampaikan oleh negara-negara berkembang hanya didengarkan, tetapi tidak diakomodasi dalam ketentuan pajak minimum global yang disepakati.

Secara umum, setiap negara memiliki hak yang sama untuk menyampaikan sudut pandangnya. Meski begitu, arah dari konsensus tetap akan ditentukan oleh negara maju.

Baca Juga:
Faktur Pajak Batal tapi Telanjur Setor Pajak, Bisakah Pemindahbukuan?

Lalu, jika pajak minimum global tidaklah dibahas secara adil, apa yang membuat negara berkembang mau menyetujui rezim tersebut? Menurut Feria, kondisi itu terjadi disebabkan desain ketentuan pajak minimum global yang sudah disiapkan oleh OECD.

Dalam ketentuan pajak minimum global, bila suatu negara tak mengadopsi pajak minimum global dan tidak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki maka keputusan tersebut sama sekali tak akan meningkatkan daya saing ekonomi negara tersebut.

Keputusan negara berkembang untuk tidak mengadopsi pajak minimum global sama saja dengan memberikan hak pemajakan kepada negara maju.

Baca Juga:
Penjelasan DJP soal Hitung PPN dengan DPP 11/12 yang Tidak Otomatis

Artinya, ada potensi pajak yang hilang apabila negara berkembang tidak mengadopsi pajak minimum global dan mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki.

Dengan demikian, tercapainya konsensus atas pajak minimum global sesungguhnya tidak terlepas desain pajak minimum global yang secara koersif memaksa negara-negara berkembang untuk mengadopsi ketentuan tersebut, bukan berkat proses pembahasan yang adil dan inklusif dengan mengakomodasi kepentingan dari setiap negara yang terlibat.

Proses yang tak adil ini memang berhasil menciptakan konsensus jangka pendek. Namun, konsensus jangka pendek tersebut dipandang tak akan mampu menghasilkan suatu kerja sama yang substantif untuk jangka panjang. (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 27 Januari 2025 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Trump Tarik AS dari Kesepakatan Pajak Global, Ini Kata Sri Mulyani

Senin, 27 Januari 2025 | 08:15 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pembaruan Objek Penelitian PKP Berisiko Rendah untuk Cairkan Restitusi

Jumat, 24 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Beban Pajak Minimum Global Bisa Ditekan dengan SBIE, Apa Itu?

Jumat, 24 Januari 2025 | 17:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sri Mulyani: Pajak Minimum Global Bikin Iklim Investasi Lebih Sehat

BERITA PILIHAN
Senin, 27 Januari 2025 | 15:30 WIB PMK 118/2024

Isi Materi Keberatan Sama dengan MAP, Ini yang Bisa Dilakukan WP

Senin, 27 Januari 2025 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Trump Tarik AS dari Kesepakatan Pajak Global, Ini Kata Sri Mulyani

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00 WIB AMERIKA SERIKAT

Trump Janji Segera Bebaskan Uang Tip dari Pajak Penghasilan

Senin, 27 Januari 2025 | 13:30 WIB PMK 117/2024

Sri Mulyani Atur Ulang Ketentuan Penghapusan Piutang Pajak

Senin, 27 Januari 2025 | 13:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Kategorisasi Kuasa dan Wakil Wajib Pajak di Coretax DJP

Senin, 27 Januari 2025 | 11:30 WIB PERDAGANGAN BERJANGKA

Nilai Transaksi Perdagangan Berjangka Komoditi 2024 Naik 29,3 Persen

Senin, 27 Januari 2025 | 10:00 WIB PMK 119/2024

Pemerintah Perinci Objek Penelitian atas PKP Berisiko Rendah

Senin, 27 Januari 2025 | 09:00 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Siap-Siap SBN Ritel Perdana 2025! Besok Dirilis ORI027T3 dan ORI027T6