Salah satu judul artikel perpajakan dalam buku berjudul The 'Pillar Two' Global Minimum Tax.
SETELAH dibahas bertahun-tahun, yurisdiksi-yurisdiksi anggota Inclusive Framework akhirnya berhasil mencapai kesepakatan atas Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) untuk memberlakukan pajak korporasi minimum secara global.
Berkat rezim multilateral tersebut, yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) yang notabene merupakan negara maju berhak mengenakan top-up tax atas laba di yurisdiksi sumber yang dikenai pajak rendah, yaitu di bawah tarif efektif minimum sebesar 15%.
Guna mengakomodasi kepentingan negara berkembang, Pilar 2 memberikan hak kepada yurisdiksi sumber untuk mengenakan top-up tax terlebih dahulu melalui mekanisme qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT).
Pilar 2 juga memuat klausul substance-based income exclusion (SBIE) yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk memberikan insentif pajak guna menarik penanaman modal ke yurisdiksi masing-masing.
Dari deskripsi singkat di atas, rezim pajak minimum global seakan-akan sudah memberikan perlakuan yang adil bagi negara berkembang. OECD pun berulang kali menegaskan konsensus atas Pilar 2 telah dicapai melalui negosiasi yang inklusif serta melibatkan negara maju dan negara berkembang.
Namun, apakah konsensus yang sudah tercapai lantas dapat memberikan hasil yang adil bagi negara berkembang? Rita de la Feria, salah satu penulis dalam buku dengan judul The 'Pillar Two' Global Minimum Tax memberikan pandangannya terkait dengan konsensus global tersebut.
Pada bab bertajuk The Perceived (Un)fairness of the Global Minimum Corporate Tax Rate, Feria mengatakan pajak minimum global bisa dikatakan memberikan hasil yang adil bila hanya dilihat menggunakan sudut pandang sempit.
Misal, adanya QDMTT dalam ketentuan pajak minimum global memberikan ruang bagi negara berkembang untuk mengenakan top-up tax sebelum hak pemajakan atas laba yang kurang dipajaki tersebut diambil oleh negara maju.
Hadirnya pajak minimum global juga akan memperkuat posisi tawar negara berkembang di hadapan perusahaan multinasional. Sebab, pajak minimum global memungkinkan negara berkembang untuk menarik penanaman modal asing tanpa harus mengorbankan kedaulatan pajaknya.
Namun, dalam sudut pandang yang lebih luas, negara berkembang tetaplah berada pada posisi yang tidak diuntungkan dalam konteks persaingan antarnegara untuk menarik penanaman modal asing.
Berlakunya pajak minimum global sama sekali tidak mengurangi intensitas persaingan antarnegara dalam menarik investasi. Pajak minimum global justru mempersempit ruang negara berkembang untuk menawarkan insentif PPh badan guna menarik investasi.
Akibatnya, insentif yang ditawarkan negara untuk menarik investasi bakal bergeser dari insentif PPh badan ke insentif-insentif dalam bentuk lain, seperti pelonggaran ketentuan ketenagakerjaan hingga pemberian insentif pajak selain PPh badan.
Dengan demikian, negara-negara berkembang tetap harus menawarkan beragam insentif dalam rangka menarik investasi. Sebaliknya, negara-negara maju bisa menarik investasi tanpa harus menawarkan insentif.
Negara maju memiliki kelebihan untuk menarik investasi hanya dengan mengandalkan keunggulan komparatifnya (comparative advantage) masing-masing.
Dari sisi proses, konsensus atas pajak minimum global tidaklah dicapai melalui proses yang adil meski rezim tersebut dibahas melalui Inclusive Framework yang melibatkan negara maju dan negara berkembang.
Ketidakadilan timbul lantaran setiap negara yang tergabung dalam Inclusive Framework tidak punya posisi tawar yang sama. Negosiator yang mewakili negara berkembang pun tidak memiliki kapabilitas teknis yang cukup untuk membahas detail dari pajak minimum global.
Sepanjang pembahasan, pandangan-pandangan yang disampaikan oleh negara-negara berkembang hanya didengarkan, tetapi tidak diakomodasi dalam ketentuan pajak minimum global yang disepakati.
Secara umum, setiap negara memiliki hak yang sama untuk menyampaikan sudut pandangnya. Meski begitu, arah dari konsensus tetap akan ditentukan oleh negara maju.
Lalu, jika pajak minimum global tidaklah dibahas secara adil, apa yang membuat negara berkembang mau menyetujui rezim tersebut? Menurut Feria, kondisi itu terjadi disebabkan desain ketentuan pajak minimum global yang sudah disiapkan oleh OECD.
Dalam ketentuan pajak minimum global, bila suatu negara tak mengadopsi pajak minimum global dan tidak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki maka keputusan tersebut sama sekali tak akan meningkatkan daya saing ekonomi negara tersebut.
Keputusan negara berkembang untuk tidak mengadopsi pajak minimum global sama saja dengan memberikan hak pemajakan kepada negara maju.
Artinya, ada potensi pajak yang hilang apabila negara berkembang tidak mengadopsi pajak minimum global dan mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki.
Dengan demikian, tercapainya konsensus atas pajak minimum global sesungguhnya tidak terlepas desain pajak minimum global yang secara koersif memaksa negara-negara berkembang untuk mengadopsi ketentuan tersebut, bukan berkat proses pembahasan yang adil dan inklusif dengan mengakomodasi kepentingan dari setiap negara yang terlibat.
Proses yang tak adil ini memang berhasil menciptakan konsensus jangka pendek. Namun, konsensus jangka pendek tersebut dipandang tak akan mampu menghasilkan suatu kerja sama yang substantif untuk jangka panjang. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.