Founder DDTC Danny Septriadi saat memberikan paparannya.
BUKAN tanpa tujuan United Nations (UN) memasukkan pentingnya soft skills, seperti negosiasi dan kemampuan berkomunikasi, dalam Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries (2021, poin 11.6.2.8, hal. 441).
Sebab, ketika para praktisi pajak mampu menggabungkan technical skills yang mumpuni dengan kemampuan negosiasi dalam konteks positif – yang berorientasi pada pencarian solusi berlandaskan etika serta aturan yang berlaku – besar kemungkinan sengketa pajak dapat dihindari.
Sayangnya, belum banyak variasi metode pembelajaran yang bisa diaplikasikan untuk mengasah soft skills tersebut. Karenanya, ibarat oasis di tengah padang pasir, pada 2020 lalu seorang profesor dari University of Hawaii merilis buku berjudul Humor in Negotiations & ADR.
Pendekatan akademisi bernama John Barkai di buku itu cukup unik. Pria yang sudah mengajar negosiasi dan alternative dispute resolutions (ADR) sejak 1979 di berbagai kampus dan negara itu punya metode unik untuk meningkatkan, bahkan mengetes pemahaman peserta ajarnya. Metodenya adalah dengan mengadaptasi konsep cartoon caption.
Dalam sejarahnya, cartoon caption sendiri merupakan fenomena yang dipopulerkan media massa Amerika Serikat sejak abad ke-19. Bahkan, pada 1920, New York Tribune pernah mengadakan kontes cartoon caption dengan total hadiah yang fantastis, yakni setara Rp230 juta pada saat ini. Sampai akhirnya, sejak 1998, The New Yorker secara berkala mengadakan kontes cartoon caption, baik tahunan maupun mingguan.
Lantas, bagaimana cartoon caption cocok menjadi metode dalam mengajarkan negosiasi?
Pertama, seperti klaim pepatah 'a picture is worth a thousand words', kartun pun mengandung magis untuk memantik ide dan menggugah pengalaman peserta ajar di lapangan dalam bernegosiasi. Kemudian, lewat analisis objek yang disederhanakan dalam kartun, negosiator bisa berlatih untuk membaca suasana (read the room).
Poin tersebut dibagikan profesor Michael Fontaine dari Cornell University dalam course-nya, Humor in the Workplace: Lessons from Ancient Rome, setelah menganalisis orator andal era Romawi Kuno, Cicero. Baik dalam konteks berhumor maupun bernegosiasi, pembacaan yang pas akan situasi bakal mempermudah tujuan sekaligus menyelamatkan kita dari kesalahan yang tidak perlu.
Pada Sabtu (14/9/24), Danny Septriadi mengaplikasikan metode ini di kelas Audit & Negosiasi Pajak Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) yang dia ampu. Danny mengajak para mahasiswanya untuk mengamati kartun-kartun bertemakan negosiasi yang telah secara khusus dikurasi.
Setelah itu, peserta ajar diajak untuk merefleksikan hal-hal yang mereka tahu secara teoretis tentang negosiasi, cara melakukan tawar-menawar yang efektif dalam situasi tertentu, sampai dengan hikmah dari pengalaman pahit mereka dalam berunding.
Sembari itu, Founder DDTC tersebut juga mengupas kata kunci (keyword) yang relevan dalam negosiasi berdasarkan pada pemahaman dan pengalamannya bertahun-tahun sebagai praktisi pajak.
Contohnya adalah prinsip Best Alternative to a Negotiated Agreement (BATNA). Prinsip ini menekankan pada pentingnya mencari alternatif terbaik jika luaran dari negosiasi belum sesuai dengan ekspektasi utama – mirip seperti plan B dalam skenario negosiasi.
Danny juga menjelaskan pentingnya memahami ground rules dalam konteks negosiasi perpajakan. Hal ini penting supaya kedua belah pihak punya basis yang sama terkait dengan aturan pemeriksaan pajak.
Dari sejumlah kartun yang ditampilkan, kartun tentang seorang berpenampilan formal sedang duduk semeja bersama orang-orang yang sedang mengintimidasi dengan senjata tajam dan obor berikut ternyata adalah yang paling seru. Kartun ini sukses men-trigger beragam perspektif yang relevan dalam praktik negosiasi.
Tangkapan layar sesi kelas Audit & Negosiasi Pajak yang diampu Danny Septriadi, Sabtu (14/9/24)
Seorang peserta ajar berinisial DP, misalnya, memilih caption berikut untuk mewakili situasi yang tergambar di kartun itu: Mari kita diskusikan dengan kepala dingin. Senjata kalian boleh mengintimidasi, tapi pena inilah yang menuliskan keputusan akhirnya.
Sementara itu, DE melihat bahwa figur yang duduk tenang tanpa senjata itu adalah representasi seorang pegawai pajak yang selayaknya tidak gentar dengan gertakan-gertakan wajib pajak. Dia merasa wajib bagi pegawai pajak memiliki wawasan dan memanfaatkan pengalamannya saat melakukan negosiasi.
AA melengkapi perspektif tersebut dari sudut pandang wajib pajak. Dia mencermati karakter paling kiri di kartun tersebut sedang duduk di kursi yang kokoh dan empuk, merepresentasikan sandaran atau pijakan negosiator yang mumpuni akan ground rules. Hal tersebut tidak terlihat pada ketiga karakter lain alias pemahaman aturan atau persiapan bukti dan argumennya kurang meyakinkan sehingga strategi negosiasinya hanyalah lewat penyalahgunaan kekuasaan dan otoritas.
Terakhir, KW menggambarkan secara liar bahwa kartun tersebut merupakan praktik intimidasi yang tak terjadi sekali-dua kali saja di sekitar kita. Dia melontarkan caption satire seperti berikut, “Bapak tahu kan orang tua saya siapa? Baik, silakan kita longgarkan saja poin A, C, E, dan F.”
Ujung-ujungnya, dari tiap kartun yang dikurasi dari buku Prof. Barkai tadi, peserta ajar bisa saling bertukar pemahaman teoretis, expertise, dan imajinasi yang tak habis-habis. Sesi perkuliahan 3 SKS ini pun terasa menyenangkan sekaligus tetap berbobot.
Anda bisa mengakses slide yang Danny Septriadi dan Ulwan Fakhri (peneliti humor IHIK3) bawakan di kelas tersebut melalui tautan berikut.
Sebagai informasi, strategi cartoon caption ini telah menjadi andalan profesor John Barkai saat mengajar di beragam kelas negosiasi. Dia pernah mengajar di antaranya di Shidler College of Business, Japan American Institute for Management Science, Asia-Pacific Center for Securities Studies, City University of Hong Kong, Shinshu University (Jepang), Central European University (Hungaria), Helsinki School of Economics and Business (Finlandia), La Trobe Law School (Australia), termasuk workshop mediasi untuk hakim di Thailand.
Barangkali, inovasi pembelajarannya inilah yang membuat profesor Barkai diganjar penghargaan Outstanding Professor of the Year di Fakultas Hukum University of Hawaii sebanyak dua kali serta penghargaan tertinggi bagi pengajar di kampus tersebut, yakni Regents’ Medal for Excellence in Teaching.
Buku profesor Barkai yang dijadikan pegangan di sini cuma satu dari 2.000 lebih koleksi The Library of Humor Studies, perpustakaan humor pertama di dunia dan Indonesia yang berlokasi di Menara DDTC, Jl. Raya Boulevard Barat Blok XC 5-6 B, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tidak hanya buku bermuatan humor, perpustakaan ini juga mengoleksi buku kajian humor lintas disiplin, dari psikologi, komunikasi, arsitektur, hukum, dan sebagainya.
*Artikel ditulis oleh Ulwan Fakhri Noviadhista, peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3). (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.