RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penyerahan Komponen Elektronik yang Tidak Dikenakan PPN

DDTC Fiscal Research and Advisory | Jumat, 12 November 2021 | 13:04 WIB
Sengketa Penyerahan Komponen Elektronik yang Tidak Dikenakan PPN

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai penyerahan barang komponen elektronik yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam perkara ini, wajib pajak merupakan perusahaan manufaktur pembuat komponen elektronik yang selanjutnya dijual ke luar negeri atau ekspor.

Otoritas pajak melakukan koreksi karena terdapat sejumlah barang yang tidak dipungut PPN dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Menurutnya, selisih jumlah barang yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak bukan merupakan barang rusak. Dengan demikian, otoritas pajak menganggap jumlah barang tersebut masuk ke dalam peredaran usaha dan seharusnya terutang PPN.

Sementara itu, wajib pajak berpendapat selisih tersebut merupakan barang rusak yang tidak dapat dijual kembali. Dengan demikian, wajib pajak tidak setuju apabila jumlah selisih barang dikenakan PPN.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap ketetapan otoritas pajak. Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak meyakini selisih barang sebanyak 8.391.636 buah merupakan barang rusak yang sudah tidak bisa digunakan ataupun dijual kembali.

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Wajib pajak telah menyampaikan bukti fisik barang rusak pada saat pemeriksaan dan persidangan. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai barang yang rusak tersebut benar-benar tidak dapat dijual kembali, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dipertahankan.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 46537/PP/M.XII/16/2013 tanggal 29 Agustus 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 21 November 2013

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi atas penyerahan PPN yang harus dipungut sendiri senilai Rp185.714.277 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan tidak setuju dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan koreksi berdasarkan pada pengujian terhadap arus barang. Berdasarkan pengujian arus barang tersebut, terdapat penyerahan barang kena pajak (BKP) masa November 2009 yang tidak dilaporkan Termohon PK sehingga menyebabkan kurang bayar pajak senilai Rp185.714.277.

Adapun jumlah BKP yang tidak dilaporkan Termohon PK ialah sebanyak 8.391.636 buah. Pemohon PK menjelaskan jumlah selisih persediaan tersebut tidak dilaporkan dalam penjualan ekspor dan tidak dicantumkan di dalam persediaan akhir.

Terkait dengan kerusakan barang, Pemohon PK menyatakan laporan audit menunjukan tidak terdapat barang yang rusak. Apabila selisih barang sebanyak 8.391.636 buah tersebut benar-benar rusak seharusnya nilainya tercantum di dalam akun inventory.

Baca Juga:
DPR Sebut Penundaan Kenaikan PPN 12% Bisa Bangkitkan Kelas Menengah

Dalam hal benar-benar terjadi kerusakan, Pemohon PK beranggapan seharusnya dilakukan penghapusan/pemusnahan yang nantinya bisa dibiayakan. Namun demikian, Termohon PK tidak melakukan hal tersebut. Selain itu, tidak ada dokumen terkait pencatatan atas barang rusak seperti kartu persediaan, buku besar persediaan, ataupun dokumen berita acara pemusnahan barang.

Pemohon PK menegaskan angka kerusakan barang yang mencapai 58,18% dari angka penjualan sangat tidak wajar, terutama bagi perusahaan manufaktur untuk kegiatan ekspor. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Pemohon PK menyimpulkan selisih barang tersebut merupakan penjualan dalam negeri dan seharusnya terutang PPN.

Di sisi lain, Termohon PK berpendapat selisih 8.391.636 buah merupakan barang yang rusak ketika masih dalam proses produksi. Kerusakan barang tersebut terjadi karena adanya goresan sehingga menyebabkan bentuknya menjadi tidak sempurna.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Akibatnya, barang rusak tersebut tidak dapat dijual ataupun digunakan sama. Dengan demikian, tidak ada penjualan atas selisih jumlah barang persediaan sehingga seharusnya tidak terutang PPN.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah benar. Terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi atas penyerahan yang PPN nya harus dipungut sendiri senilai Rp185.714.277 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK dan Termohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
PPN Rumah Masih Ditanggung Pemerintah, DJP Harap Ekonomi Meningkat

Kedua, Termohon PK dapat membuktikan fakta selisih barang yang timbul dari pengujian arus barang merupakan barang rusak. Pemohon PK hanya melakukan mengkoreksi berdasarkan anggapan atau asumsi tanpa didukung bukti yang memadai. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung tanggal 31 Juli 2015. (kaw)

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 16:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Punya Usaha Kecil-kecilan, Perlu Bayar Pajak Enggak Sih?

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja