Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Hari ini, Kamis (5/12/2024), pemerintah dan DPR sepakat untuk memberlakukan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya atas barang-barang mewah.
PPN 12% hanya akan berlaku untuk barang yang selama ini juga dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Simak ‘Usai Temui Prabowo, DPR Sebut PPN 12% Hanya Berlaku untuk Barang Mewah’. Guna menindaklanjuti keputusan ini, pemerintah juga akan melakukan kajian atas skema PPN multitarif.
“Masih dipelajari pemerintah, dilakukan pengkajian yang lebih mendalam bahwa PPN tidak berada dalam 1 tarif. Ini masih dipelajari, masyarakat tidak perlu khawatir,” ujar Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun selepas pertemuan pimpinan DPR dengan Presiden Prabowo Subianto.
Multitarif PPN sejatinya menjadi salah satu tren global (Darussalam, 2021). Selain tarif yang berlaku secara umum, berbagai negara mengenakan tarif khusus bagi barang dan/atau jasa kena pajak tertentu. Tarif khusus itu bisa berupa tarif 0%, penurunan tarif (reduced rate), atau justru tarif yang lebih tinggi.
Diferensiasi tarif ditujukan untuk memaksimalkan penerimaan dengan memanfaatkan perbedaan elastisitas konsumsi terhadap tarif pajak yang ditetapkan. Aspek keadilan juga sering dijadikan sebagai justifikasi. Simak ‘Tren Global PPN: Kenaikan Tarif, Multitarif, dan Pembatasan Fasilitas’.
Ebrill, et al. (2001) berpandangan penerapan multiple rates juga dapat memberikan beberapa manfaat. Itulah sebabnya tidak semua negara setuju untuk menerapkan PPN dengan tarif tunggal.
Namun, pada dasarnya, tidak terdapat konsensus khusus dalam mengatur kebijakan tarif yang harus diterapkan. Tiap negara berwenang menentukan sendiri struktur tarif seperti apa yang digunakan.Simak ‘PPN: Tarif Tunggal atau Multitarif?’.
Dengan adanya tren tersebut, tidak mengherankan jika skema multitarif sempat menjadi usulan dalam pembahasan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Simak ‘Acuan Pemerintah, Ini Perbandingan PPN Multitarif di Beberapa Negara’.
Namun, pemerintah dan DPR kala itu tidak bersepakat menerapkan skema multitarif yang memungkinkan adanya kelonggaran tarif lebih rendah bagi barang dan jasa kena pajak tertentu. Simak pula ‘Memandang Secara Jernih Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%’.
Ulasan mengenai multitarif PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 30 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. Simak ‘Kontribusi untuk Negeri, DDTC Sudah Terbitkan 30 Buku Perpajakan’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.