Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Performa penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada kuartal I/2019 semakin menguatkan risiko shortfall pada tahun ini. Performa tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (23/4/2019).
Dalam rilis APBN Kita, otoritas fiskal memaparkan realisasi penerimaan perpajakan hingga akhir Maret 2019 senilai Rp279,9 triliun atau tumbuh 6,7% (year on year/yoy). Performa ini mencatatkan perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu sebesar 10,3%.
Dari penerimaan perpajakan itu, pajak penghasilan (PPh) migas tercatat senilai Rp14,5 triliun. Capaian itu sekaligus mencatatkan pertumbuhan 26,5%, lebih baik dibandingkan tahun lalu yang terkontraksi 3,4%. Realisasi pajak nonmigas senilai Rp234,5 triliun atau tumbuh 0,6%, jauh lebih rendah dari tahun lalu 10,7%.
Adapun realisasi penerimaan bea dan cukai tercatat senilai Rp31,0 triliun. Kinerja tersebut sekaligus menorehkan pertumbuhan 73% dari tahun lalu. Pada periode yang sama tahun lalu, penerimaan bea dan cukai tercatat senilai Rp17,9 triliun atau tumbuh 15,9%.
Sementara itu, realisasi PNBP hingga akhir Maret 2019 senilai Rp70,0 triliun atau mengalami pertumbuhan negatif 1,4%. Padahal, sepanjang kuartal I/2018, realisasi PNBP senilai Rp71,0 triliun atau tumbuh 22,1%.
Melihat performa penerimaan tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara enggan berspekulasi terkait prospek pengelolaan anggaran pada sisa tahun ini. Otoritas akan terus memantau pergerakan anggaran secara rutin, termasuk penerimaan pajak yang terdampak adanya lonjakan restitusi.
“Saya enggak bilang kalau tidak ada risiko, tetapi melihat APBN itu harus secara keseluruhan,” katanya.
Adapun realisasi penerimaan perpajakan pada kuartal I/2019 setara 15,7% dari target tahun ini Rp1.786,4 triliun. Sementara itu, realisasi PNBP hingga akhir Maret 2019 tercatat sebesar 18,5% dari target tahun ini senilai Rp378,3 triliun.
Selain itu, beberapa media juga menyoroti masalah risiko pergeseran asumsi makro yang ada di dalam APBN 2019. Keputusan Amerika Serikat untuk tidak melanjutkan pengecualian impor minyak dari Iran untuk delapan negara – termasuk China dan India – berpotensi menggeser asumsi makro, terutama harga minyak dan nilai tukar rupiah.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan tertekannya kinerja penerimaan pajak dipengaruhi oleh tingginya peningkatan resitusi. Dia pun mengakui bahwa pelambatan aktivitas perdagangan turut menggerus penerimaan pajak.
“Kami tetap melakukan berbagai hal termasuk sosialisasi. Siapa tahu ke depan ada perbaikan di sektor perdagangan,” katanya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara meyakini tingginya permintaan restitusi akan memberikan dampak positif pada perekonomian secara menyeluruh meskipun ada pengaruh negatif ke fiskal negara.
“Itu ada pengaruhnya [positif ke perekonomian], pasti. Untuk melihatnya, tentu kita tunggu ke depan,” ujar Suahasil.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menjelaskan ada tiga catatan terkait dengan realisasi penerimaan negara sepanjang kuartal I/2019. Pertama, realisasi pajak nonmigas yang mencapai 15,5% dari target APBN pada dasarnya merupakan pola distribusi bulanan yang umumnya terjadi pada awal tahun yaitu sekitar 4,5%—6% per bulan.
Namun, pertumbuhan pajak yang hanya mencapai 0,6%, terutama karena kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) yang negatif, perlu untuk diwaspadai. “Ini jelas sangat jauh dari target pertumbuhan penerimaan pajak yang mencapai 19% pada 2019 ini,” katanya.
Kedua, restitusi pajak hendaknya tidak perlu dipersoalkan seolah-olah menjadi hal yang melemahkan kinerja. Hal ini mengingat restitusi merupakan konsekuensi logis dari sistem PPN dan menjadi hak wajib pajak.
Ketiga, kendati ada tekanan, dia memprediksi penerimaan PPN akan meningkat. Impor barang modal dan konsumsi dalam negeri akan membaik sejalan dengan kondisi politik yang kondusif pascapemilihan umum dan menyambut Lebaran.
Suahasil Nazara mengaku akan terus memantau deviasi sejumlah asumsi makro ekonomi yang sudah dipatok dalam APBN 2019. Estimasi dampak deviasa terhadap pengelolaan anggaran juga akan terus dilakukan. Namun, dia menegaskan pemerintah tidak akan terburu-buru melakukan penyesuaian.
“Dilihat dulu selama satu semester, lalu itu akan menjadi bahan evaluasi,” katanya.
Pemerintah optimistis akan menargetkan pertumbuhan penerimaan negara pada 2020 sebesar 10% hingga 13,5%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan proyeksi dipengaruhi pergorma penerimaan pajak nonmigas, harga minyak, dan nilai tukar rupiah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.