Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Agenda pertemuan tahunan G-20 akan diselenggarakan beberapa minggu lagi di Bali. Seperti disampaikan sebelumnya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, perpajakan internasional menjadi salah satu agenda prioritas sektor keuangan yang akan dibahas saat Indonesia memegang Presidensi G-20 tahun ini. Menurut Sri Mulyani, pembahasan mengenai perpajakan internasional tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga seluruh negara di dunia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu juga mengatakan bahwa Presidensi G-20 Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan pembahasan soal kelanjutan kesepakatan internasional di bidang perpajakan. Salah satunya, kesepakatan yang dicapai pada presidensi sebelum Indonesia, saat para pemimpin negara G-20 setuju untuk mengimplementasikan kesepakatan pajak global mulai 2023.
Seperti diketahui, konsensus pajak global yang sedang dibahas mencakup 2 pilar. Proposal Pilar 1: Unified Approach diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.
Rencana dalam Pilar 1 ini bukan hanya menyasar bisnis digital, tetapi juga seluruh sektor perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atas EUR20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10%.
Kemudian, Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE), diyakini dapat mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Desain kebijakan GloBE dilakukan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimum sebesar 15% yang ditinjau dari negara domisili. Apabila terdapat selisih antara pajak minimum tersebut dengan tarif pajak efektif di lokasi investasi suatu perusahaan multinasional, selisih tersebut dapat dipajaki di negara domisili.
Sedangkan kebijakan kedua dari Pilar 2, yaitu Pilar 2: Subject to Tax Rule (STTR), memungkinkan negara sumber untuk dapat memberlakukan tarif withholding tax secara penuh (tanpa reduced rate dalam P3B) apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara domisili.
Kemunculan 2 pilar tersebut dilatarbelakangi oleh adanya celah penghindaran pajak atas kegiatan ekonomi lintas yurisdiksi yang makin terdigitalisasi. Perkembangan model bisnis dan globalisasi yang makin terdigitalisasi membuat ketentuan pajak internasional mengenai kriteria penentuan bentuk usaha tetap (BUT) dalam tax treaty atau biasa disebut perjanjian penghindaran pajak berganda yang ada saat ini tidak memadai dan kurang relevan diterapkan.
Definisi BUT atau yang sering disebut permanent establishment (PE) ini juga menjadi bahasan yang sangat intens di tingkat global. Definisi BUT juga menjadi aspek yang penting dalam upaya pencapaian konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi OECD.
Sebagaimana diketahui, konsep BUT tersebut sangat krusial untuk diperhatikan dikarenakan ada atau tidaknya BUT menentukan bisa atau tidaknya suatu yurisdiksi memajaki penghasilan perusahaan yang bukan wajib pajak dalam negerinya.
Untuk pembahasan selengkapnya beserta analisis praktisnya, dapatkan di kelas ADIT Exam Preparation Course - Batch 2 (Paper 1: Principles of International Taxation). Jadwal kelas ADIT Paper 1 dilaksanakan secara online melalui Zoom Meeting Room pada Sabtu, 19 November dan Kamis, 24 November 2022.
Simak info selengkapnya mengenai program kelas persiapan ujian ADIT di artikel berikut, Kelas Persiapan Ujian ADIT Periode Ke-2 Sudah Dibuka!
Segera daftarkan diri Anda pada link berikut:
https://academy.ddtc.co.id/adit
Membutuhkan bantuan mengenai program ini? Hubungi Hotline DDTC Academy +62812-8393-5151 (Vira), email [email protected] (Vira), atau melalui akun Instagram DDTC Academy (@ddtcacademy). (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.